Dan Pada A(wal)khirnya

|
Selasa, 23 March 2010
15.01 – 15.46


Setiap yang bermula pasti memiliki akhir. Akhir dunia dan zaman adalah sebuah keniscayaan. Sedangkan malaikat maut adalah kepastian yang akan tersenyum padamu.

Tanganku jauh dari kepalan untuk memekakan telinga kalian sembari berteriak, “Mari rebut masa depan”.

Masa depan bukanlah milik saya saja. Masa depan adalah milik siapa saja yang memiliki kesempatan dan kemauan untuk maju, melangkah dalam derau kendaraan dan senyap nyanyian surau yang usang tergigit elegi modernitas dan sang Leviathan.

Seberapa jauh masa lalu bagi kamu?

Seberapa dekat masa depan dengan kamu?

Seberapa dahsyat detik ini dan saat ini juga bagi kamu?

Kemarin aku menyusuri hari yang teramat sangat panas sembari duduk manis di kendaraan roda dua temanku. Matahari sangat menyengat, bagai ratusan lebah gila yang hilang arah pulang.

Aku menjemput memori kegilaan di ruang penuh buku usang dan tawa orang-orang yang tak kukenal. Mencoba mengembalikan ingatan lalu yang tidak lagi sarat makna.

Loh. Aku tidak menuntut makna. Aku menuntut bentuk yang nyata.

Sorenya. Langit muram dan tampak awan kelabu mewarnai senja.
Aku menyebrangi rel ganda. Menyusup di antara kendaraan yang beringas seperti anjing gila yang tak berhenti berlari mengejar mainan yang dilempar sang majikan.

Aku sendiri. Dan aku tak membutuhkan teman selain bayanganku yang menjorok kearah barat. Lelaki tanpa kerah dan dasi yang menyesaki ibu kota dan tamu bagi tuan rumah yang tak murah senyum.
Seperti biasa. Kereta tua berdesakan. Kereta sumbangan kali ini nampak lebih parah lagi. Kereta berikutnya yang kunaiki justru terlihat sedikit lebih manusiawi.

Keputusan tak penah bergantung sendiri. Keputusan selalu berawal dari timbangan bulan libra yang tak juga pernah setara, tak juga mungkin setara.

Sudahlah. Aku menyerah kali ini. Seperti takluk pada serangan massa 1 mei.
Semua berbeda. Dan akan tetap begitu.

Untuk kesekian rotasi mentari dan rembulan aku meludahi mimpi yang tak terwujud setiap hari.

Semalam aku menikmati setiap langkah sang pejalankaki menyusuri hamparan aspal, tanah, beton, dan tanah.
Semalam aku menengadah ke angkasa, “Oh, langit malam ini nampak cantik sekali. Bulan sabit terlihat manis, sang bintang-bintang kecil menatapku penuh tingkah.”

Aku ingin bertanya beberapa pada mereka:

“Apakah kamu tidak bosan bergantung dilangit?”
“Apakah kamu tidak bosan sendiri wahai bintang tunggal?”
“Apakah kamu tidak bosan berevolusi duhai bulan sabit yang kelak menjadi purnama?”


Aku membayangkan jawaban mereka. Ya, aku mampu sedikit saja membayangkan jawaban mereka!!!

Mereka akan menjawab:

Sang bintang, “Tidak. Aku tidak bosan. Aku terlahir dan tercipta seperti ini. Dan aku tak menyesal. Justru aku bahagia karena dapat berbagi dan memantulkan cahaya pada bintang lainnya.”

Sang bintang terdiam sejenak.
Kemudian dia berkata lagi, “Kebahagiaan terbesarku adalah saat manusia melihat kerlipku, mencintai, dan memberi nama padaku seperti nama orang yang mereka cintai. Kebahagiaanku yang lain adalah saat manusia menggantungkan harapan dilangit, maka itulah yang menyebabkan kami akan tetap ada, istimewa dan bersinar dengan kerlip nan menawan.”

Sang bulan menyahut, “Dan satu yang harus kau tahu wahai pejalankaki, wahai penyendiri yang agung!!! Bahwa, kau tidak sendirian. Tapi jika kau memilih untuk sendiri, jadilah seperti kami, jadilah cahaya bagi orang-orang disekitarmu.”

Sembunyilah saat kau perlu waktu untuk sendiri. Dan berlarilah telanjang bebas dalam hujan deras saat kau butuh ruang riuh dan ramai.

Resapi hidup. Seperti dahan kering yang meminta untuk kembali hidup.
Hiruplah nafas walau dalam kekangan, namun ingatlah bahwa udara yang kau miliki tetap bebas dan udara yang sama yang mengekangmu hirup kelak akan membebaskanmu.
Ya. Membebaskanmu dari hidup. Memerdekakan jiwamu yang agung yang tenggelam dalam tubuh rapuh yang kian membusuk.

Aku tak perlu diajari oleh siapapun. Apapun yang hendak kau katakan merupakan nyanyian dalam kepalaku yang terus dan tak pernah bosan mengetuk jiwa ini untuk terus sadar dan tak terpejam sebelum waktunya.

Cinta Dan Yang Tercinta

|
“Demikian sidang skripsi hari ini Selasa, 9 Februari 2010. Para penguji memutuskan, kalian semua dinyatakan LULUS.” Duk.duk.duk. (palu diketuk).
Wajah lelah dan khawatir para peserta sidang skripsi sekejap sirna mendengar keputusan tersebut. Kami segera menghampiri dan bersalam dengan ketiga penguji, kemudian saling bersalaman satu sama lain.

Ruang tersebut segera dipenuhi aura positif dari kebahagian semua yang ada di dalamnya. Kami mendapat salam dan ucapan selamat dari teman, sahabat, dan orang-orang tercinta yang menonton sidang skripsi hari itu.

Sekarang saya menganggur dirumah. Menunggu saat wisuda. Menuju dunia yang sesungguhnya!!

_________________________________________________________________

6 tahun lalu saya mencoba peruntungan SPMB di Universitas Indonesia jurusan Humas dan Filsafat, hasilnya nihil, gagal. Walhasil, saya memilih untuk masuk kampus yang sama dengan kakak saya di Kampus Tercinta IISIP Jakarta. Mencoba ikut ujian gelombang ke dua dengan pilihan Jurusan Hubungan Masyarakat dan Hubungan Internasional. Dan akhirnya saya diterima di Jurusan Hubungan Masyarakat.

Di 2 tahun pertama, kuliah terasa berat dan tidak menyenangkan karena naik turunnya IP dan IPK akibat masih terbawa kebiasaan semasa SMA dulu. Banyak pengalaman buruk dan lucu disini mulai dari di usir dosen, mengulang mata kuliah, di sebut tukang “obras” oleh dosen, bolos kuliah, patah hati lagi dan lagi, jatuh cinta lagi dan lagi, termasuk yang jarang membuat “batik” ujian, ditegur Ibu Rektor akibat tidak cross check sebelum membuat statement di Epicentrum tahun lalu, dan masih banyak lagi.

Oh,iya. Setiap hari saya pulang pergi dari Bogor menuju kampus menggunakan jasa perkeretaapian Indonesia yang sangat nyaman sekali! Mulai dari adegan berdesakan yang lebih ganas daripada moshpit di gigs hardcore/punk, menjadi saksi adegan pencopetan, penjambretan, hingga modus esek-esek lelaki kurang kerjaan.

Satu hal sangat berkesan adalah saat hari pertama saya masuk kuliah, berangkat menggunakan kereta pukul 7.20. Itu pertama kali saya berangkat kuliah sendiri, lupa harus turun di stasiun mana. Karena panik, saya turun di stasiun Universitas Pancasila, parahnya karena saya pengguna kereta amatir, saat turun saya terdorong dan jatuh jungkir balik, otomatis ada yang teriak histeris dan juga ada yang menertawakan haha. Bingung harus naik apa, saya memutuskan naik bus kearah pasar minggu, untung saja bus itu tepat menngantar saya ke depan kampus.

Sesampainya, saya mencari ruang kuliah di mading. Kuliah pertama di ruangan 2-4, tapi saya kurang yakin itu pelajaran agama atau pancasila yang di ajar oleh Pak Yafiz. Saya terlambat. Bodohnya, karena masih terbawa kebiasaan kala SMU, saya mengetuk pintu dan mengucapkan “Assalammualaikum wr.wb.”, serentak seisi kelas tertawa, karena setelah saya tahu, telat ataupun tidak kala masuk kelas salam bukanlah hal yang lumrah dilakukan mahasiswa/i. Walaupun demikian, masih ada beberapa teman yang tetap mengucapkan salam saat masuk kelas.

Selanjutnya, saya tidak pernah mengucapkan salam saat terlambat masuk kelas!
Intermezo.
Siapa yang belum pernah menikmati aroma khas toilet pria di depan Mushola? Beruntung sekarang sudah agak wangi dan lebih bersih.
Siapa juga yang masih buang sampah sembarangan? Jangan nakal, sekarang sudah banyak tong sampah loh!

Rasanya ada yang kurang menjadi mahasiswa jika belum pernah berpartisipasi dalam demonstrasi sebagai aksi solidaritas menyuarakan aspirasi. Saya pernah ikut demo akbar anti kenaikan harga BBM tahun 2008 kalau tidak salah. Berkeringat, bau badan, tapi lucunya ada beberapa teman wanita yang ikut justru malah berfoto-foto.

Saya pernah mengalami setiap jenjang IP, mulai dari 0.69, 1.5, 2.8, 3.8. Lucunya saya masih bermimpi bisa Cum Laude. Sempat berpikir menjadi seorang aktivis, tapi saya justru menjadi pasivis yang tidak terlalu ambil pusing pada apa yang terjadi pada Negara, dan memilih untuk memulai dari diri sendiri, rumah, teman, dan lingkungan sekitar dengan membentuk Kolektif berdasarkan ide Do It Yourself (DIY) dengan beberapa teman-teman di Bogor.

Di perpustakaan yang kalau hujan sering bocor atapnya, saya menemukan kolksi buku langka yang jarang di cetak ulang seperti karya Albert Camus berjudul Krisis Kebebasan dan juga Sampar, karya Nietzsche berjudul Kehendak Untuk Berkuasa yang mungkin jarang di baca oleh teman-teman lainnya. Karya-karya Hemingway dan Habermas yang sepertinya masih berdoa untuk dilirik, dan buku-buku berkualitas lainnya yang jarang di sentuh. Selain karena perpustakaan hanya dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan buku terkait dengan teori penelitian, atau sekedar untuk menjangkau fasilitas hotspot, jarang di antara teman-teman yang membaca buku-buku diluar buku pegangan kuliah dan teori.

Itulah berbagai pengalaman saya selama di kampus tercinta ini. Sayangnya tidak banyak yang bisa diceritakan. Karena terlalu banyak pengalaman yang rasanya tidak akan cukup saya sampaikan dalam kesempatan ini dan saya juga tidak bisa merangkai kalimat yang tepat untuk menjabarkannya.
_________________________________________________________________

Yang jelas, selama 6 tahun kuliah disini saya mendapatkan banyak pengalaman baru baik di dalam dan di luar kelas. Saya mengamini pepatah bahwa “pengalaman adalah guru terbaik”, banyak hal berharga yang saya dapatkan dari luar kelas kuliah, bukan hanya sekedar mengejar nilai. Kuliah membutuhkan tanggungjawab, kemandirian dan sedapat mungkin membuang jauh rasa putus asa. Masih banyak di luar sana yang tidak mampu merasakan pelajaran dari bangku kuliah.

Little Flower and The Goon Of Tribe!

|
Hoho. berhari~hari jiwaku ramai dengan vibrasi dalam dahaga bacotan Nyai Ontosoroh dan Pak Guru Belanda.

Persetan gaya politik. Persetan juga dengan romantisme.
Kamu teriakkan saja persetan dengan diriku.

Dia berseragam putih biru saat berkenalan. Ini bukan kisah cinta.
Ini hanya bentuk apresiasi pada adik kecil ku yang kini telah harum, wangi dan menjadi pujaan.
Ini bukan curhatan individu teralienasi. Oh. Aku sangat suka hidup terasing.

Dia banyak mengajari aku menjadi orang yang tetap percaya pada harapan.

Dulu lidahnya kelu dan bibirnya malu untuk mengumpat. Tapi bunga lili kecil itu kini telah jauh lebih pandai daripada aku si penjahat dari kaum despotic.
Aku pengidap neurosis, aku tantangan bagi diriku sendiri.
Obsesif kompulsif kalau orang bilang.

Kaumku dulu cukup besar dan sangat menyebalkan. Kini ego membunuh satu persatu.

Dia juga mengalami hal yang sama.

Senyumnya menghilang dari layar monitor dengan program Fruity Loops 3.

Abstrak. Aku suka kisah perjalanannya dan setiap antusiasme yang dia tunjukkan kala bercerita pengalaman dari kota ke kota.

Sejak pertama. Aku sudah menduga dia akan menjadi bunga yang cantik dan manis dalam kubangan pencaci, pengumpat dan fanatik misogini.
Aku percaya apa yang pernah kusampaikan padanya tidak terbuang percuma olehnya.

Hanya saja aku tidak bisa memastikannya untuk saat ini.
Entah dia akan berbelok kemana. Toh dia masih terlalu muda untuk berontak mungkin.

Demi Freud dan Simone de Beauvoir. Jangan jadikan dia santapan bagi para begundal pseudo~reality.
Demi 2pac dan Biggie Jangan biarkan dia terjebak dalam punchline dan rima berbau emas.
Dan wahai warna merah! Lindungi telinganya dari bisikan dajal bermata berlian.

Demi tarian tuhan dan para atheis. Jaga dia Dari siksa yang sengaja dan tidak sengaja aku tanam.

Dunia tanpa cermin Minggu, 11 oktober 2009 (21.44-22.41)

|
Saya bangun pagi tadi sekitar pukul 07.30. badan saya masih terasa pegal basket kamis lalu.

Ide ini sudah terkumpul sejak 2 hari yang lalu setelah mendengar lagu Sade-Bullet Proof Soul.mp3 ditambah pengaruh film CLOSER dan diskusi dengan Peri Kecil saya. Baru terealisasi sekarang ditengah kesibukan skripsi yang menggila.

Lagi-lagi saya merasa tulisan ini penting untuk dibaca/mungkin tidak juga.

Ada yang mengatakan kalau hidup ini seperti permainan catur. Setiap langkah harus dipikirkan dengan seksama dan hati-hati.

Baiklah. Cukup basa-basi di atas basa-basi.

Pernahkah kamu membayangkan sebuah kehidupan. Ya. Sebuah dunia tanpa cermin.

Kamu tidak tahu seperti apa wajah kamu. Dunia tanpa pantulan wajah. Air tanpa pantulan wajah. Narcissus tenggelam di danau akibat kekagumannya pada wajah sendiri.

Coba sekarang kamu berkaca. Atau kamui boleh lihat gaya andalan foto kamu di HP, folder foto di computer atau album foto jaman dahulu.
Nikmati metamorfosa wajah, mimic dan gesture yang kamu punya.

Saya bisa membayangkan dunia tanpa cermin.

Saya, kamu, kita: tidak tahu seperti apa wujud maupun wajah sendiri.
Saya, kamu, kita: hanya bias melihat wajah orang lain.
Lupakan ratu kecantikan dan pria idaman.
Lupakan gadis sampul dan iklan macho celana dalam pria.

Satu-satunya cara untuk melihat wajah kamu adalah dengan melihat focus, dalam, dan sangat dalam kedalam mata lawan bicara kamu.
Kamu akan tahu seburuk apa wajah kamu.

Lupakan selera. Tampan>Jelek, Cantik>Jelek.
Toh, kamu tidak bisa melihat wajah kamu sendiri.
Kamu akan lebih memperhatikan orang lain daripada diri sendiri.

Kamu akan merasa lebih merdeka. Seperti orang gila yang telanjang dipinggir jalan.
Ya. Kemerdekaan yang absolute hanya saya rasakan dalam kamar mandi.
TELANJANG. Saya tinggalkan semua atribut, pakaian, gengsi, hasrat, kehendak.
Hanya saya yang tahu apa yang terjadi di dalam situ.

Saya tidak bisa melihat hidung, pipi, dagu, alis, gigi, lidah, rambut, telinga dan bahkan mata saya sendiri. Kepala kalian saja yang saya lihat.
Kepala-kepala kalian berbeda bentuk, bervariasi. Seperti pelangi.

Saya berpikir, kalian juga pasti ingin tahu bentuk wajah kalian.
Maaf. Karena saya lancing dengan mudah bisa melihat wujud wajah kalian tanpa susah payah.
Maaf. Saya hanya bisa menceritakan wajah kalian kamu: pipi seperti si A, mulut seperti si B, mata si C, hidung si D.
Tapi tetap saja kamu tidak bisa membayangkannya, meskipun saya membuatkan lukisan atau sketsa wajah kamu. Beruntung bagi yang terlahir kembar. Kamu bisa melihat wajahmu dalam wajah kembaranmu.

Malam ini. Aku menceritakan dunia ini pada wanita yang ingin kupinjam hidupnya.
Lalu akau bertanya: “Siapa yang menuliskan sejarah? Yang menang atau yang kalah perang?”

Saat kamu memikirkan cinta. Itu hanya sebatas pikiran.
Cinta itu mesti dialami dan dihidupi, bukannya dipikirkan.

Kita sering meminjam waktu dari hidup orang. Bagi saya, setiap detik sangat berharga dalam hidup yang Cuma satu kali ini.
Saya tidak akan menghabiskan waktu dengan menabung. Saya tidak ingin membeli jaguar untuk liburan di Surga.

Saya melangkah tanpa tahu wajah saya sendiri. Tanpa pernah melihat wajah saya sendiri.
Tapi saya cukup bahagia dapat melihat kalian.
Tapi. Berikan saya sedikit waktu untuk ke kamar mandi.

Seorang gadis bercerita:
Dia berada di satu ruang kuliah. Bersama 99 mahasiswa/i. Seorang dosen lanjut usia bercerita didepan kelas tentang sebuah pelajaran berharga yang tidak bisa didapat dari ruang lainnya. Ruang itu begitu hening, membosankan, terang, terang dan terang. Rasanya semua ingin pergi ke toilet. Tapi ada sebuah daya magis, bandot tua itu menghipnotis hingga semua lekat di kursi masing-masing.
Gadis itu berpikir: “Lampu ruangan ini harus aku matikan supaya kejenuhan ini usai.”
Dia mematikan lampu.
Seisi kelas riuh, mengeluh. Pilihannya salah.
Dia mengira semua jenuh. Ya. Tapi mereka tidak lelah untuk menimba ilmu mata kuliah kehidupan.
Dia mengira. Dengan melihat wajah yang lainnya, ia bisa mewakilinya seperti sketsa.

Ya. Setiap hari adalah perang. Saya ingin selalu jadi pemenang. Maka saya mainkan peran dengan keras kepala. Terserah jika kalian punya pilihan lain.

Pernahkan terpikir? Setiap hari kita berfoya-foya! Bahkan tanpa uang sepeserpun. Nafas adalah harta.
Kita semua pernah lupa untuk bernafas. Tapi toh kita tetap hidup!!!
Oksigen masuk ke paru-paru, memompa jantung, memacu denyut nadi ke sekujur tubuh.
Hidup sangat layak untuk dijalani tanpa mengeluh. Walaupun saya masih suka mengeluh.

Terkadang saya merasa lelah membaca, karena semakin banyak saya membaca, ternyata semakin banyak hal yang tidak saya ketahui.
Apakah ilmu memiliki muara?
Seperti sisa hujan yang menyisakan pelangi.

Saya mengendap ke dalam jiwa-jiwa kalian hanya untuk mengatakan, “Sampai jumpa di dunia tanpa cermin.”

Saya ingin hidup merdeka di kamar mandi.
Tapi ruang itupun telah membatasi kemerdekaan saya.
Saya tidak memiliki kemerdekaan? Siapa yang memilikinya?
Oh, sungguh saya terkagum pada Albert Camus.

Jika cinta adalah senjata, maka manusia adalah martir.
Jika kejujuran hanya akan membuatmu punah, maka benar adanya bahwa kebohongan adalah mata uang dunia. Itu yang akan membuatmu kaya.
Tapi aku tidak ingin kaya. Aku hanya ingin menikmati hidup!!!

Mental Trip, Rock on!!!

Nb: di tulis di tengah kegalauan skripsi hehehe…

Seperempat Kebenaran. (Sebuah Percobaan ke Dua Merefleksi Pemikiran Albert Camus)

|
Seperempat Kebenaran
Minggu, 8 november 2009. (21.03-22.30).

“Tapi kita mungkin malah harus melawan kebohongan atas nama seperempat kebenaran”. Albert Camus.

Malam redup. Namun jiwaku sangat-sangat dan sunguh-sungguh terbakar dan bersemangat. Mungkin saja orang bisa jatuh cinta setiap saat, meskipun sebenarnya sekali saja cukup. Militansi dalam jiwa saya adalah sesuatu yang pasif dan laten, yang hanya muncul pada waktu-waktu senggang saja. Kebanyakan dalam keseharian walaupun beraktifitas super padat, jiwa saya tertidur. Mandul.

Saya lebih sibuk berpikir daripada berbuat. Pikiran saya jauh lebih luas dari perbuatan saya.

Berpikir sederhana tidak sama dengan berpikir pendek. Hidup terlalu singkat untuk membuang kesempatan pada satu jalan kebodohan yang tidak pernah kamu ketahui maknanya.

Siapa yang sungguh-sungguh suci untuk dapat menilai diri manusia lainnya? Kamu sekalian tidak pernah memiliki hak untuk itu.

Saya menghidupi zaman ini tidak seperti kawan-kawan sezaman saya menghidupi zaman ini. Terlalu banyak kekecewaan yang muncul setelah tumpukan buku-buku dan literature yang nyaris membusuk di sudut kamar membawa informasi dan angin segar bagi jiwa saya.

Entah apa gumpalan kertas itu membawa kebohongan atau hanya membawa seperempat kebenaran. Yang saya tahu saat ini saya memilih untuk menemukan kebahagiaan dan identitas diri yang beradaptasi, berasimilasi kemudia bermutasi menjadi makhluk pra-imitasi. Sekarang, saat skizoprenia kambuh, mulailah sedikit demi sedikit scopophilia menjangkiti pikiran.

Pseudo-reality. Oh, betapa serunya tayangan bertajuk “Reality Show”. Betapa memukaunya “Infotainment Gossip”. Setiap pagi, siang, sore dan malam menjejali pikiran.

Pada notes sebelum ini, saya menyatakan bahwa saya menemukan kemerdekaan di dalam kamar mandi. Saya bebas bertelanjang dan berbuat sesuka hati. Tapi hari ini saya berkata lain. Saya tidak pernah merasa menemukan kemerdekaan, apalagi kebebasanm dalam kamar mandi itu.

Kamar mandi dalam konteks ini bagi saya hanya menyajikan kemerdekaan semu. Selama ini saya salah dan telah membiarkan masyarakat yang gila ini tertawa di tanah lapang, sedangkan saya menyalurkan “kebebasan” hanya dalam petak-petak kamar mandi yang saya temui.

Seperempat kebenaran. Kurang dari satu, kurang dari setengah.

Saya nyaris selalu gagal menemukan kewarasan. Tapi toh saya telah memilih secara laten dan tidak terdefinisi apa yang saya perjuangkan (dan apa yang saya sangkalkan) dan pilihan criteria mengenai kewarasan secara personal di tengah masyarakat yang entah bagaimana awa mulanya hingga bisa mengidap penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.

Bicara tentang kebebasan dan keadilan. Mereka adalah dua hal yang berkaitan. Saling mempengaruhi satu sama lain. Kebebasan tanpa keadilan akan menciptakan masyarakat barbar dan lebih dari setengah sinting daripada zaman ini. Sedangkan keadilan tanpa kebebasan adalah mimpi di siang bolong.

Kini saya memilih menuangkan air dalam kendi untuk bisa dinikmati seluruhnya oleh tanah, air, angin dan udara. Saya berharap bisa merdeka di luar kamar mandi.

Albert Camuys mengatakan dalam judul tulisan yang sama, “Jika kita harus gagal, akan lebih baik bila kita ada pada pihak yang memilih kehidupan daripada pihak yang memusnahkan kehidupan”.

Dunia ini memang harus dalam keadaan yang tetap mendidih agar selalu layak untuk dijalani. Setiap hari selalu menimbulkan alasan-alasan baru untuk menjalani hidup penuh dengan senyuman, bahkan pada kemunafikan sekalipun.

Saya juga bukan orang yang suci. Tulisan saya ini juga bekan sesuatu yang terlalu istimewa apa lagi saya banyak meminjam kutipan orang lain.

Tapi masalah kebebasan dan keadilan, kebenaran dan kebohongan tidak akan pernah berhenti, masyarakat harus terus maju dan diberi suplemen wacana meskipun hanya seperempat kebenaran saja. Selebihnya kita berikan kepada mereka ruang untuk mencari sesuatu yang ada diluar dirinya dan lingkungan terdekatnya tanpa paksaan dan tirani mayoritas.

Kompromi mutlak dilakukan?
Ya, untuk menerapkan seperempat kebenaran kita harus tetap hidup dan berbaur dengan masyarakat yang sakit ini. Seperti halnya manusia hidup untuk melanjutkan eksistensinya di dunia.

Menciptakan kebudayaan superorganic seperti yang disebutkan oleh Herskovits. Konstruksi realitas apa yang sebenarnya saya bayangkan? Entahlah. Dengan bersikap seperti ini saja toh akan adal orang yang menganggap saya menyimpang. Subversive. Padahal tidak juga. Saya ini pengecut koq!!!

Counter-culture seringkali dianggap sesuatu yang negative dalam masyarakat yang tunduk dan menyerahkan segala urusan keadilan dan kebebasan pada aparat. Maka tidak heran jika isu anarkisme sering di belokkan dan di pelesetkan oleh media sebagai sesuatu yang berbahaya, tindakan barbar, tidak bermoral dan merusak. Padahal tidak sepenuhnya benar.

Bahkan seperempat kebenaran saja sudah lebih dari cukup untuk mempengaruhi orang bukan??

Sedangkan Surjono Soekanto mengatakan dalam Pengantar Sosiologi, “Counter-Culture tidak harus diberi arti negative, karena adanya gejala tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk di anggap kurang dapat menyelaraskan diri dengan perkembangan kebutuhan-kebutuhan”. Dalam pengertian ini, ada sekelompok kecil elemen masyarakat yang mempunyai ide baru tentang kehidupan yang mereka serap dari budaya lain yang telah disesuaikan terlebih dahulu dengan budaya mereka sepenuhnya.

Karena kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis, maka perubahan yang terjadi di dalamnya merupakan sesuatu yang biasa.

Masyarakat, menurut Kingsley Davis, adalah sistem hubungan dalam arti hubungan organisasi-organisasi dan bukan hubungan antara sel-sel. Apabila mengambil definisi kebudayaan dari Tylor yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai masyarakat. Maka perubahan-perubahan kebudayaan adalah setiap perubahan dari unsur-unsur tersebut. Lalu apa yang harus diatkuti dari perubahan sosial yang merupakan bagian dari perubahan kebudayaan?

Masalahnya kini, adalah bagaimana memadukan budaya-budaya yang ada agar “sesuai” dengan “selera” masyarakat?

Mengenai kebebasan. Dia bukanlah sesuatu yang tanpa batas. Kebebasan kita terbatas pada orang di sekitar kita sehingga kita harus terus beradaptasi agar tetap dapat menghidupkan ide-ide abru di tengah-tengah mereka.

Sebagai penutup, saya mengutip satu lagi quote Albert Camus, “Memilih kebebasan bukanlah memilih sesuatu melawan keadilan, seperti kata kebanyakan orang. Sebaliknya, saat ini kebebasan dipilih karena adanya orang-orang yang menderita dan berjuang dimana-mana dank arena hanya kebebasan seperti itulah yang patut diperjuangkan. Kebebasan dipilih pada saat yang sama dengan keadilan, dan dengan begitu kita tidak bisa memilih yang satu tanpa yang lain”.

Ya. Bahkan seperempat kebenaran telah lebih dari cukup untuk mempengaruhi orang lain. Seperempat dan setengah kebenaran lainnya, biarlah mereka yang mencari dan temukan dengan sendirinya.

Tuhan tidak gila. Tapi kamu yang sinting!

|
Uh. tuhan memang tidak pernah absen menjadi bahan gosip setiap waktu. di belahan dunia dan belahan dada manapun, tuhan pasti menjadi obyek walaupun dia tidak memiliki eksistensi selain esensi.

wooHoow.. pernah dengar kalimat "tuhan telah mati, kita telah membunuhnya" haha..
semenjak manusia merasa mewakili tuhan di dunia, semenjak itu pula tuhan menjadi lemah. tuhan tidak butuh perpanjangan tangan.

jika para front~front theis, atheis dan anti~theis gemar membicarakan tuhan. mungkin si pria bijak di atas langit itu sedang tertawa terbahak~bahak.

tuhan adalah sebuah bola dalam pertandingan final antar keyakinan. siapapun yang menceploskan dia ke gawang, akan mendapat nilai 1.
tidak ada yang kalah di akhir pertandingan, sebab 22 pemain mendapat giliran menyepak bola dan menggiring ke arah yang pemain itu mau.

sedangkan wasit kita anggap sebagai pengamal kitab suci yang memberi hukuman kepada pemain yang melakukan tindakan curang. tapi terkadang tafsir wasit atas suatu aturan tentang pelanggaran tidak terjebak dalam teks yang tidak kontekstual. wasit butuh lebih banyak nurani daripada naluri menceploskan bola dan mencari kemenangan dalam satu pertandingan.

wufh. bola dunia berputar. berapa banyak warga dunia saat ini? siapa yang menjadi pemain? yang mana menjadi wasit?

jangan lupakan penonton. mereka netral saja, mungkin para agnostik dan atheis ada di dalamnya. tidak peduli siapa yang jadi pemenang. asalkan biasa sekedar menonton sepakbola atau membuat kericuhan dalam pertandingan.

lalu. apa peran kamu dalam stadion dunia mahabaratha ini? haha.

tuhan memang tidak gila. sebab dia tak mungkin dipelajari.
tapi kamu memang sinting, berusaha membelanya.

sudahlah. tinggalkan dia dalam kesendiriannya. yang walaupun karena kesendiriannya kita bisa tercipta.

poor human. poor hate. poor hope.

Serupa apa? Hasrat Helios dan Sejarahmu

|
Saya tidak tahu sekarang jam berapa. Sekarang sudah memasuki dini hari. Adzan subuh baru saja berkumandang, cukup memecah keheningan dini hari ini dan cukup membuat konsentrasi meditasi saya buyar.

Tak apalah. Suara itu adalah panggilan yang baik.

Berminggu-minggu saya jarang berjumpa dengan pagi hari. Pagi dalam arti suasana. Saya kehilangan rasa peka untuk menikmati pagi hari.
Udara yang masih sejuk, embun, kabut, desir angin yang membuat tubuh merinding. Ada suatu kelembapan yang sulit untuk dijabarkan.

Matahari terbit dari belakang rumah saya. Terbenam di depan rumah saya. Menyengat di atas rumah saya.

Helios.

Energi murni yang sama yang telah menerangi hari-hari siang bertukar malam yang di alami nenek moyang manusia. Adam dan Hawa. Bagaimana mereka memaknai sifat matahari?
Matahari adalah saksi bisu dari milyaran sejarah manusia yang terjadi kala dia bersinar. Sisanya dia serahkan pada bulan yang selalu tak pernah bisa menepati tugasnya.

Matahari tentu tahu bahwa banyak hal keliru yang dilakukan manusia. Mungkin ini saat yang tepat mengganti lirik tembang lawas Doel Sumbang menjadi, "kalau matahari bisa ngomong".

Ya. Kalau saja begitu. Dia tentu akan memberitahu manusia bahwasanya kebencian itu tidaklah perlu diagungkan dalam kesumat hasrat yang tersumbat.
Bumi tidak sehebat itu.

Gandhi juga tahu. Kalau bumi mampu memenuhi kebutuhan manusia, tapi bumi tidak mampu mencukupi keserakahan manusia.

Para penulis sejarah mestinya sering-sering bertelepati dengan matahari. Karena sejarah-sejarah yang tak pernah tuntas membuat orang saling menikam.

Tulisan Sejarah mana yang kamu benarkan? Lukisan Sejarah mana yang kamu yakini?
Atau.
Apa kamu berani membuat sejarahmu sendiri?

Lahir, merangkak, berdiri, berjalan, berlari, istirahat, lalu mati. Siklus hidup yang nampaknya tak terelakkan.

Jadi kamu masih percaya sejarah 1 dimensi? Kamu masih saja mau jadi masyarakat tontonan? Masyarakat penonton. Pengikut tuan besar. Budak belian.

Saat kata direduksi maknanya. Disitu telah terjadi pengebirian logika.
Banyak istilah ekstrim yang bertendensi negatif perlu di redefinisi.

Temanku mengingatkanku dengan sebuah kutipan dari Munir, "ketakutan kita hari ini adalah tentang keberanian". Seingat saya seperti itu.

Kamu takut jadi pahlawan? Janganlah terlalu banyak menonton sinetron.
Jangan terlalu lama di cafe. Jangan terlalu banyak makan fastfood.
Jangan terlalu banyak teori.
Dan jangan terlalu percaya apa yang saya katakan.
Kamu cari bentukmu sendiri.

Mungkin di lain hari kita bisa merasakan suasana pagi yang setara, sama, namun tetap indah dengan harmoni perbedaan yang mutlak harus tetap terjaga.

Selamat menikmati pagimu.

Segelas teh hangat.

Obrolan santai dengan orang tua.

Mandi.

Sarapan.

Lalu?

Hadapi hari. Jadikan matahari sebagai pencatat sejarah hidupmu hari ini.

Bravo Helios!!....