Dan Pada A(wal)khirnya

|
Selasa, 23 March 2010
15.01 – 15.46


Setiap yang bermula pasti memiliki akhir. Akhir dunia dan zaman adalah sebuah keniscayaan. Sedangkan malaikat maut adalah kepastian yang akan tersenyum padamu.

Tanganku jauh dari kepalan untuk memekakan telinga kalian sembari berteriak, “Mari rebut masa depan”.

Masa depan bukanlah milik saya saja. Masa depan adalah milik siapa saja yang memiliki kesempatan dan kemauan untuk maju, melangkah dalam derau kendaraan dan senyap nyanyian surau yang usang tergigit elegi modernitas dan sang Leviathan.

Seberapa jauh masa lalu bagi kamu?

Seberapa dekat masa depan dengan kamu?

Seberapa dahsyat detik ini dan saat ini juga bagi kamu?

Kemarin aku menyusuri hari yang teramat sangat panas sembari duduk manis di kendaraan roda dua temanku. Matahari sangat menyengat, bagai ratusan lebah gila yang hilang arah pulang.

Aku menjemput memori kegilaan di ruang penuh buku usang dan tawa orang-orang yang tak kukenal. Mencoba mengembalikan ingatan lalu yang tidak lagi sarat makna.

Loh. Aku tidak menuntut makna. Aku menuntut bentuk yang nyata.

Sorenya. Langit muram dan tampak awan kelabu mewarnai senja.
Aku menyebrangi rel ganda. Menyusup di antara kendaraan yang beringas seperti anjing gila yang tak berhenti berlari mengejar mainan yang dilempar sang majikan.

Aku sendiri. Dan aku tak membutuhkan teman selain bayanganku yang menjorok kearah barat. Lelaki tanpa kerah dan dasi yang menyesaki ibu kota dan tamu bagi tuan rumah yang tak murah senyum.
Seperti biasa. Kereta tua berdesakan. Kereta sumbangan kali ini nampak lebih parah lagi. Kereta berikutnya yang kunaiki justru terlihat sedikit lebih manusiawi.

Keputusan tak penah bergantung sendiri. Keputusan selalu berawal dari timbangan bulan libra yang tak juga pernah setara, tak juga mungkin setara.

Sudahlah. Aku menyerah kali ini. Seperti takluk pada serangan massa 1 mei.
Semua berbeda. Dan akan tetap begitu.

Untuk kesekian rotasi mentari dan rembulan aku meludahi mimpi yang tak terwujud setiap hari.

Semalam aku menikmati setiap langkah sang pejalankaki menyusuri hamparan aspal, tanah, beton, dan tanah.
Semalam aku menengadah ke angkasa, “Oh, langit malam ini nampak cantik sekali. Bulan sabit terlihat manis, sang bintang-bintang kecil menatapku penuh tingkah.”

Aku ingin bertanya beberapa pada mereka:

“Apakah kamu tidak bosan bergantung dilangit?”
“Apakah kamu tidak bosan sendiri wahai bintang tunggal?”
“Apakah kamu tidak bosan berevolusi duhai bulan sabit yang kelak menjadi purnama?”


Aku membayangkan jawaban mereka. Ya, aku mampu sedikit saja membayangkan jawaban mereka!!!

Mereka akan menjawab:

Sang bintang, “Tidak. Aku tidak bosan. Aku terlahir dan tercipta seperti ini. Dan aku tak menyesal. Justru aku bahagia karena dapat berbagi dan memantulkan cahaya pada bintang lainnya.”

Sang bintang terdiam sejenak.
Kemudian dia berkata lagi, “Kebahagiaan terbesarku adalah saat manusia melihat kerlipku, mencintai, dan memberi nama padaku seperti nama orang yang mereka cintai. Kebahagiaanku yang lain adalah saat manusia menggantungkan harapan dilangit, maka itulah yang menyebabkan kami akan tetap ada, istimewa dan bersinar dengan kerlip nan menawan.”

Sang bulan menyahut, “Dan satu yang harus kau tahu wahai pejalankaki, wahai penyendiri yang agung!!! Bahwa, kau tidak sendirian. Tapi jika kau memilih untuk sendiri, jadilah seperti kami, jadilah cahaya bagi orang-orang disekitarmu.”

Sembunyilah saat kau perlu waktu untuk sendiri. Dan berlarilah telanjang bebas dalam hujan deras saat kau butuh ruang riuh dan ramai.

Resapi hidup. Seperti dahan kering yang meminta untuk kembali hidup.
Hiruplah nafas walau dalam kekangan, namun ingatlah bahwa udara yang kau miliki tetap bebas dan udara yang sama yang mengekangmu hirup kelak akan membebaskanmu.
Ya. Membebaskanmu dari hidup. Memerdekakan jiwamu yang agung yang tenggelam dalam tubuh rapuh yang kian membusuk.

Aku tak perlu diajari oleh siapapun. Apapun yang hendak kau katakan merupakan nyanyian dalam kepalaku yang terus dan tak pernah bosan mengetuk jiwa ini untuk terus sadar dan tak terpejam sebelum waktunya.

Cinta Dan Yang Tercinta

|
“Demikian sidang skripsi hari ini Selasa, 9 Februari 2010. Para penguji memutuskan, kalian semua dinyatakan LULUS.” Duk.duk.duk. (palu diketuk).
Wajah lelah dan khawatir para peserta sidang skripsi sekejap sirna mendengar keputusan tersebut. Kami segera menghampiri dan bersalam dengan ketiga penguji, kemudian saling bersalaman satu sama lain.

Ruang tersebut segera dipenuhi aura positif dari kebahagian semua yang ada di dalamnya. Kami mendapat salam dan ucapan selamat dari teman, sahabat, dan orang-orang tercinta yang menonton sidang skripsi hari itu.

Sekarang saya menganggur dirumah. Menunggu saat wisuda. Menuju dunia yang sesungguhnya!!

_________________________________________________________________

6 tahun lalu saya mencoba peruntungan SPMB di Universitas Indonesia jurusan Humas dan Filsafat, hasilnya nihil, gagal. Walhasil, saya memilih untuk masuk kampus yang sama dengan kakak saya di Kampus Tercinta IISIP Jakarta. Mencoba ikut ujian gelombang ke dua dengan pilihan Jurusan Hubungan Masyarakat dan Hubungan Internasional. Dan akhirnya saya diterima di Jurusan Hubungan Masyarakat.

Di 2 tahun pertama, kuliah terasa berat dan tidak menyenangkan karena naik turunnya IP dan IPK akibat masih terbawa kebiasaan semasa SMA dulu. Banyak pengalaman buruk dan lucu disini mulai dari di usir dosen, mengulang mata kuliah, di sebut tukang “obras” oleh dosen, bolos kuliah, patah hati lagi dan lagi, jatuh cinta lagi dan lagi, termasuk yang jarang membuat “batik” ujian, ditegur Ibu Rektor akibat tidak cross check sebelum membuat statement di Epicentrum tahun lalu, dan masih banyak lagi.

Oh,iya. Setiap hari saya pulang pergi dari Bogor menuju kampus menggunakan jasa perkeretaapian Indonesia yang sangat nyaman sekali! Mulai dari adegan berdesakan yang lebih ganas daripada moshpit di gigs hardcore/punk, menjadi saksi adegan pencopetan, penjambretan, hingga modus esek-esek lelaki kurang kerjaan.

Satu hal sangat berkesan adalah saat hari pertama saya masuk kuliah, berangkat menggunakan kereta pukul 7.20. Itu pertama kali saya berangkat kuliah sendiri, lupa harus turun di stasiun mana. Karena panik, saya turun di stasiun Universitas Pancasila, parahnya karena saya pengguna kereta amatir, saat turun saya terdorong dan jatuh jungkir balik, otomatis ada yang teriak histeris dan juga ada yang menertawakan haha. Bingung harus naik apa, saya memutuskan naik bus kearah pasar minggu, untung saja bus itu tepat menngantar saya ke depan kampus.

Sesampainya, saya mencari ruang kuliah di mading. Kuliah pertama di ruangan 2-4, tapi saya kurang yakin itu pelajaran agama atau pancasila yang di ajar oleh Pak Yafiz. Saya terlambat. Bodohnya, karena masih terbawa kebiasaan kala SMU, saya mengetuk pintu dan mengucapkan “Assalammualaikum wr.wb.”, serentak seisi kelas tertawa, karena setelah saya tahu, telat ataupun tidak kala masuk kelas salam bukanlah hal yang lumrah dilakukan mahasiswa/i. Walaupun demikian, masih ada beberapa teman yang tetap mengucapkan salam saat masuk kelas.

Selanjutnya, saya tidak pernah mengucapkan salam saat terlambat masuk kelas!
Intermezo.
Siapa yang belum pernah menikmati aroma khas toilet pria di depan Mushola? Beruntung sekarang sudah agak wangi dan lebih bersih.
Siapa juga yang masih buang sampah sembarangan? Jangan nakal, sekarang sudah banyak tong sampah loh!

Rasanya ada yang kurang menjadi mahasiswa jika belum pernah berpartisipasi dalam demonstrasi sebagai aksi solidaritas menyuarakan aspirasi. Saya pernah ikut demo akbar anti kenaikan harga BBM tahun 2008 kalau tidak salah. Berkeringat, bau badan, tapi lucunya ada beberapa teman wanita yang ikut justru malah berfoto-foto.

Saya pernah mengalami setiap jenjang IP, mulai dari 0.69, 1.5, 2.8, 3.8. Lucunya saya masih bermimpi bisa Cum Laude. Sempat berpikir menjadi seorang aktivis, tapi saya justru menjadi pasivis yang tidak terlalu ambil pusing pada apa yang terjadi pada Negara, dan memilih untuk memulai dari diri sendiri, rumah, teman, dan lingkungan sekitar dengan membentuk Kolektif berdasarkan ide Do It Yourself (DIY) dengan beberapa teman-teman di Bogor.

Di perpustakaan yang kalau hujan sering bocor atapnya, saya menemukan kolksi buku langka yang jarang di cetak ulang seperti karya Albert Camus berjudul Krisis Kebebasan dan juga Sampar, karya Nietzsche berjudul Kehendak Untuk Berkuasa yang mungkin jarang di baca oleh teman-teman lainnya. Karya-karya Hemingway dan Habermas yang sepertinya masih berdoa untuk dilirik, dan buku-buku berkualitas lainnya yang jarang di sentuh. Selain karena perpustakaan hanya dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan buku terkait dengan teori penelitian, atau sekedar untuk menjangkau fasilitas hotspot, jarang di antara teman-teman yang membaca buku-buku diluar buku pegangan kuliah dan teori.

Itulah berbagai pengalaman saya selama di kampus tercinta ini. Sayangnya tidak banyak yang bisa diceritakan. Karena terlalu banyak pengalaman yang rasanya tidak akan cukup saya sampaikan dalam kesempatan ini dan saya juga tidak bisa merangkai kalimat yang tepat untuk menjabarkannya.
_________________________________________________________________

Yang jelas, selama 6 tahun kuliah disini saya mendapatkan banyak pengalaman baru baik di dalam dan di luar kelas. Saya mengamini pepatah bahwa “pengalaman adalah guru terbaik”, banyak hal berharga yang saya dapatkan dari luar kelas kuliah, bukan hanya sekedar mengejar nilai. Kuliah membutuhkan tanggungjawab, kemandirian dan sedapat mungkin membuang jauh rasa putus asa. Masih banyak di luar sana yang tidak mampu merasakan pelajaran dari bangku kuliah.