Tubuh Perempuan

|
Mar 27, '09 9:59

Tulisan pendek ini bersumber dari sebuah artikel dalam CAKRAM, sebuah majalah periklanan, promosi dan kehumasan sebagai referensi bagi mahasiswa Jurusan Public Relations yang merupakan konsentrasi saya selama Kuliah di IISIP Jakarta.

Sebuah kajian feminis seperti ini mungkin seharusnya diangkat oleh perempuan, Bukan oleh laki-laki seperti saya, tapi dalam era postmodern sekarang ini rasanya sudah tidak terlalu penting lagi kita memperdebatkan masalah biasa atau tidak biasa, tapi pada masalah makna. Separuh dari tulisan ini merupakan isi dari artikel tersebut. Ditambah dari Averroes Community di situs www.averroes.or.id. Semoga tulisan saya ini memberi motivasi bagi para perempuan untuk menunjukan eksistensinya kembali. Dari dalam negeri mungkin kita bisa belajar dari R.A Kartini.

Mari kita mulai.

Pencitraan tubuh perempuan sudah lama menjadi perbincangan yang kompleks dalam diskursus media. Sejumlah kritik menyebutkan bahwa media telah mengeksploitasi tubuh perempuan semata-mata untuk manfaat komersial. Cyndi Tebel dalam bukunya “Body Snatchers” (2000) menggambarkan bagaimana perempuan berusaha habis-habisan agar tampil langsing dan memikat. Million of eager young girls are willing to sacrifice long-term mental and physical wellbeing, tulisnya, hanya demi suatu kesempatan yang sangat kecil untuk menjadi model terkenal.

Karena itu tak perlu heran jika industri kecantikan berkembang dengan pesat. Industri bedah plastic agar tampil cantik bahkan semakin digandrungi. Sarah Tippit dari kantor berita Reuters melaporkan bagaimana para Bintang terkenal berduyun-duyun mereparasi tampang mereka di dokter bedah plastic agar tampil sempurna di penyerahan hadiah Oscar.

Karena itu industri kecantikan dianggap sebagai pemicu yang menjadikan perempuan tak pernah puas dengan tampilan tubuh mereka. Dunia mode memang selalu bermain dengan trend, dan kini mengagungkan model yang betul-betul ramping.

Dalam konteks semacam ini, tudingan terarah ke para pria yang dianggap selalu memanipulasi perempuan untuk kepentingan dan kepuasan mereka. Naomi Wolf, salah satu tokoh feminis terkemuka, menyebutkan bahwa konsep cantik adalah senjata Terakhir yang dipakai oleh patriarkhi untuk menundukan perempuan. Walau dalam kenyataannya, sekian banyak produk kecantikan maupun media yang menampilkan pentingnya kecantikan, dikelola atau dikuasai oleh perempuan.

Pencitraan dalam iklan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Freud sudah menyebutkan bahwa banyak aktivitas manusia digerakkan oleh impuls seksual.

Untuk para laki-laki coba lihat perempuan disekitar kita. Apakah mereka menyembah berhala kecantikan? Selalu mengikuti fashion yang terkadang tidak mereka pahami, kenapa harus mereka ikuti?

Untuk para perempuan, sudahkah kalian menyadari bahwa kecantikan bukanlah sesuatu yang mutlak melinkan relative? Apakah kalian masih terjebak dalam pencitraan produk yang hanya menjanjikan sugesti seperti produk pemutih?

Bagaimana mungkin seorang yang dari kecil memiliki kulit hitam bisa berubah menjadi lebih putih dalam waktu 7 hari saja? Dan yang tidak habis pikirnya lagi, masih saja ada orang yang mengkonsumsi produk yang jelas-jelas tidak terbukti.

Lama sudah rasanya gaung emansipasi perempuan meredup (menurut saya), ingin juga kenal dengan seorang perempuan yang mempunyai prinsip kuat.

Banyak perempuan di kampus saya yang modis, tapi saying saat diskusi di dalam kelas gaya pakaiannya (yang serba wah dengan Brand internasional) melebihi eksistensi dirinya. Ini menurut versi saya, karena saya belum berdiskusi dengan beberapa dari mereka. Gengsi telah mereduksi eksistensi nalar mereka, hingga mungkin secara tidak sadar mereka tercebur dalam mainstream yang berkiblat pada rumah mode di eropa. Walaupun hal ini juga terjadi pada laki-laki. Banyak yang perilaku konsumsinya hanya berdasarkan pertimbangan emosional semata.

Memang dalam masyarakat industri ini media massa telah menjadi tuhan yang baru. Dimana nyaris segala “kebutuhan” manusia dapat dipenuhi melalui media massa tersebut.

Pada hakekatnya, pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas. Maka dari itu, seluruh isinya adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas (constructed reality) yang dipilih dan diolah menjadi sebuah wacana yang bermakna (Sobur, 2004).

Tubuh perempuan selalu menjadi perdebatan. Perbedaan derajat menjadi salah satu sebab mengapa perempuan selalu memiliki posisi yang lebih lemah disbanding laki-laki. Hal ini terlahir sejak era kolonialisme dan feodalisme yang melegenda. Banyak perempuan mengalami serangan seksual, di eksploitasi dan di nafikan.

Bila memakai pendekatan postkolonial, semangat membalik dapat kita temukan pada isu pornografi. Pornografi banyak ditentang oleh kaum perempuan, dengan asumsi pornografi telah mengeksploitasi tubuh perempuan habis-habisan, dan hanya lelakilah yang mendapatkan keuntungan. Mereka menunjukan data bahwa lelakilah konsumen terbanyak dalam peredaran pornografi. Di situ perempuan merasa dirinya dipermalukan, ditelanjangi bahkan beberapa mengatakan film porno adalah bentuk perkosaan lain dalam dunia fiksi media visual.

Tetapi postkolonial, dan terutama yang seiring dengannya (postfeminis) dapat membaliknya bahwa pornografi dapat digunakan untuk kesadaran seksualitas perempuan itu sendiri. Perempuan memiliki hak untuk menunjukan hasrat seksualitas dirinya. Bahwa hasrat seks sangat manusiawi, tentunya juga bagi perempuan. Seperti tokoh Laila dalam Saman novel Ayu Utami, di balik perselingkuhannya ada pesan-pesan yang ia tunjukan, tentang ideologi patriarkhi, dan bagaimana seks, agama dan Tuhan dipandang dari sudut mata dan hati atau pengalaman perempuan.

Fenomena Madonna, adalah ikon dalam semangat membalik postkolonial. Kaptalisme dan tubuhnya ia gunakan utnuk menjai kekuasaannya. Di sini Madonna sebagai tubuh perempuan tidak lagi menjadi korban eksploitasi, ia mengeksploitasinya untuk menjadi kekuasaan menundukan wacana yang tidak membebaskan perempuan meraih diriya sendiri. Madonna adalah imaji atas dirinya sendiri, yang dapat memperlihatkan gender dan seksualitas kepada generasi pada waktu itu. Kebangkitan popularitasnya sejak 1980-an dengan smash hit lagunya Like A Virgin dan Material Girl di awal 90-an merupakan transformasi lambang tentang “kesadaran diri” atas kebingungan gender. Penggemarnya yang kebanyakan perempuan, dan kritik-kritik terhadapnya menajdi intelektual, bahkan banyak membawa studi tentang gender, seksualitas dan media massa. Madonna menjadi simbol perempuan dalam post-gender.

Semangat membalik Madonna menjadi semangat post dan menjadi contoh penting dalam melihat persoalan seks perempuan di tengah perlawanan dan kehadirannya. Gerakan-gerakan post memang menjadi kontroversial karena tidak sealur dengan standar nilai masyarakat dan agama, kemunculannya sering mengejutkan dan awalnya akan dianggap sebagai kehadiran yang melenceng. Namun bila dipahami dan dipelajari lebih dalam, pemahaman post termasuk postkolonial sesungguhnya melengkapi perlawanan kolonialisme itu sendiri.

Tetapi sebelum melakukan logika semangat pembalikan, para perempuan-perempuan juga harus menumbuhkan kesadaran dirinya dan bangun dari buai ilusi yang diciptakan media melalui pencitraan produk.

Anggap saja tuhan itu perempuan. AMIN.

Dari Krisis Kebebasan: Kembali Merenungkan Gilotin

|
(Saat Sedang Meradang, Kamis 26 Maret 2009. 20.45- 23.00)

Lama saya berpikir untuk membuat tulisan berikutnya. Kali ini saya mengajak kawan-kawan di layar komputer yang sedang mengakses dunia maya di seberang sana untuk berbagai sedikit kewarasan atau mungkin kegilaan. Sayapun masih ragu mengenai hal itu, segalanya nyaris terlihat absurd dan semakin tidak nyata di tengah riuhnya kehidupan masyarakat industri ini yang menyebut teknologi sebagai tuhan dan suatu keharusan.

Tulisan ini saya buat beberapa waktu dengan tergesa-gesa setelah saya membaca sekilas karya-karya Albert Camus yang menurut saya sangat luar biasa pemikirannya, walaupun saya belum sempat membaca kritikan dari Sartre, teman sekaligus musuh penalarannya.

Berikut adalah penjabaran tulisannya dengan versi saya dari salah satu sub judul tulisannya yaitu “Merenungkan Gilotin” dalam buku Krisis Kebebasan, beberapa kalimat saya kutip langsung sebagai pemikiran pokoknya. Di mana pada saat hidupnya banyak aksi pemancangan bagi pelaku kejahatan di masanya dan eksekusi dilakukan di hadapan orang banyak sebagai peringatan. Tapi justru di situ muncul sebuah logika terbalik dimana sikap tersebut menciptakan kritiknya sendiri. Hingga justru banyak orang yang memikirkan kembali arti sebuah nyawa.

Walaupun aksi hukum pancung sudah mulai pudar, namun pada masa sekarang dengan refleksi yang terlihat dalam segala bentuk kekuasaan khususnya di dalam negeri kita sendiri rasanya kita masih harus merenungkan gilotin yang hadir dalam wujudnya yang baru, yaitu otoritarian penguasa melalui aparat yang semakin menyegat rakyat dengan dalih untuk ketertiban umum maupun menjaga stabilitas. Rakyat yang memberi mereka pekerjaan dan gaji dari pajak yang mereka bayarkan malah harus menjadi “hamba” atas “budak”nya.

Berkenalan dengan pikiran Albert Camus mengajarkan kita humanisme, nihilisme dan absurditas, perlahan kita di biarkan merenungkan sendiri karyanya, karena beliau juga mengakui bahwa karyanya bukan sesuatu yang tanpa cela. Cukup relevan ditengah masyarakat kita saat ini.

Mari kita mulai.

Ketika daya pikir menjadi lemah, kata-kata akan menjadi tanpa makna: Sekelompok manusia akan buta dan tuli saja terhadap nasib seorang manusia. Ya, ini adalah wajah yang Camus tuliskan sekitar 30 atau 40 tahun lalu, tapi masih akan tetap menjadi perbincangan hangat dan tiada henti hingga saat ini. Dulu aksi pancung di Prancis dilakukan di hadapan orang banyak agar mereka menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Ayahnya pernah pada suatu waktu sangat bersemangat bangun pagi-pagi sekali untuk melihat eksekusi seorang penjahat yang terkenal. Kemudian, saat siang hari ayahnya pulang dengan wajah pucat dan langsung merebahkan diri di kamarnya, merenungkan apa yang baru dia saksikan, tak lama kemudian beliau muntah. Mereka yang menonton eksekusi umumnya sangat membenci kejahatan dan penjahat itu sendiri, mereka tidak berpikir panjang untuk memahami situasi karena mereka menganggap bahwa “keadilan sedang ditegakkan”.

Keadilan justru telah menjadi tiran saat mereka merasa memiliki hak dan logikanya sendiri untuk menghabisi nyawa seseorang. Bahkan hukum yang menjadi sumber penjatuhan sanksi adalah bagaikan seorang raja yang menang dalam peperangan, hingga merasa berhak menjarah harta, memperkosa dan menjadikan kaum yang kalah perang sebagai budak.

Selama banyak diantara kita membiarkan daya pikirnya terkikis oleh hipnotis kemegahan dunia, gemerlap malam, riuh persaingan bisnis, sibuk berebut kuasa, menangkap segala realitas layar kaca sinetron hingga reality show maka kita telah membiarkan kebususkan terus bergelora. Kini kita sedang melihat gilotin yang telah mewujud dalam sesuatu yang baru, sesuatu yang sering kita temui, sesuatu yang terlahir dari ketimpangan logika anak kembar peradaban, kiri dan kanan, revisonis dan revolusionis.

Kapitalisme semakin membuat dunia menjadi kelam, manusia menjadi robot, anak cucu kita kelak menjadi mutan. Penggusuran. Dunia semakin sempit dan nyaris tidak ada ruang yang ada tanpa proses transaksi. Tanah bersertifikat, air dengan pajak, sakit dan mati dengan asuransi, terkubur dengan pajak pula. Dunia adalah etalase yang semakin angkuh. Miskin adalah dosa besar, hingga dunia menjadi neraka. Sedangkan surga masih merupakan pertanyaan.

Hukuman mati menjatuhkan martabat masyarakat sementara para pendukungnya tidak mampu memberi alasan yang masuk akal. Ya, banyak aksi eksekusi di dalam negeri ini dalam berita televisi. Para algojonya bertindak bagaikan robot tanpa mau tahu urusan orang lain, mereka menjadi tuhan, tuhan yang berada di bawah komando kekuasaan.

Bagaimana bisa suatu pembunuhan yang dilakukan diam-diam pada suatu malam di halaman penjara dapat di sebut memiliki nilai sebagai contoh? Pertanyaan ini muncul setelah pada awal abad 20 terjadi eksekusi yang mengundang wartawan untuk meliput dan kalau tidak salah juga ditayangkan di televisi yaitu eksekusi Weidmann tahun 1939 di Versailles, Prancis. Kemudian muncul kontroversi hingga ada larangan untuk melakukan eksekusi di depan masyarakat umum. Beberapa waktu lalu negara kita melakukan eksekusi terhadap para teroris Amrozi Cs di Nusa Kambangan.

Nilai apa yang kita dapat?

Sedangkan katanya hukum dan segala tetekbengeknya di buat agar masyarakat memiliki nilai pedoman yang sama dan hidup teratur agar tidak melakukan aksi yang jahat atau menyimpang dari norma, nilai dan dogma. Dengan demikian hukum dan keadilan malah bersembunyi dari masyarakatnya sendiri. Saya bukan membela terorisme, tetapi saya hanya mencoba memaknai kematian yang katanya bisa menjadi contoh.

Hukum memang sudah ditegakkan. Tapi keadilan masih bisa kita perdebatkan. Siapa yang memiliki hak dan kuasa atas satu nyawa?

Pada tahun 1791 Tuaut de le Bouverie, seorang anggota dewan di Prancis berkata, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat dapat dikuasai”. Sebuah propaganda yang luar biasa. Sebelumnya kita harus bertanya pada diri sendiri.

Apakah anda setuju dengan pembunuhan? Jika jawabannya tidak, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah orang yang telah membunuh keluarga anda harus di hukum mati? Anggap saja jawabannya setuju. Pertanyaan terakhir: Apakah hukum harus di tegakkan? Tentu iya, tapi keadilan masih akan menimbulkan perdebatan. Apa bedanya membunuh atas dasar logika hukum dengan membunuh atas dasar emosi dan dendam?

Mari berpikir!!!

Kita bisa saja tidak suka tindak pembunuhan, tapi mungkin kita akan membunuh di saat kita sedang terjepit. Hal ini dikatakan absurd oleh Camus, maka saya simpulkan realitas itu subyektif, tidak mungkin obyektif, apalagi keadilan?

Daripada secara samar mengingatkan masyarakat akan seseorang yang membayar hutangnya pagi tadi jam 5, bukanlah lebih efektif mengingatkan para pembayar pajak (masyarakat) itu secara rinci apa yang akan terjadi bila mereka melanggar hukum yang sama? Daripada hanya ditulis, “Jika kau membunuh, kau akan menerima balasan di tiang gantungan”.

Banyak kejadian penggusuran di negeri ini yang berakhir bentrok, pada pedagang kaki lima mengaku sudang membayar pajak dan kadang pungli, tapi lapaknya tetap digaruk. Aparat selalu mengatakan bahwa mereka telah memberi surat peringatan. Dari kesaksian seorang PKL di TV One baru-baru ini, dia mengatakan sangat kecewa pada anggota dewan yang katanya akan berada di garis depan bila terjadi penggurusan, tapi anggota dewan itu mangkir.

Banyak orang terhormat sebenarnya adalah calon pembunuh. Kalimat Camus ini didasarkan pada sifat kekuasaan yang cenderung dekat dengan korupsi. Untuk menjaga nama baiknya, penguasa ataupun orang terhormat bisa saja melakukan pembunuan.

Dalam negeri ini lihat saja kasus pembunuhan Munir yang seakan tak pernah usai. Dan pembunuhkan terhadap Bambang (kalau tidak salah), saksi kunci yang membongkar transaksi benda cagar budaya di salah satu museum nasional. Serta serangkaian fakta lain yang bisa kita pelajari dari sejarah.

Fresnes seorang terhukum mati berkata, “Tahu bahwa kita akan mati tidak ada artinya”, “Tapi tidak tahu apakah kita akan hidup atau mati, benar-benar terror dan menyesakkan dada”. Terlihat jelas bahwa hukuman mati sangat tidak manusiawi, apa lagi hukuman mati hanyalah pembunuhan yang dilegalkan. Hukum hanya bagian dari legitimasi pembunuhan. Masalahnya terlepas pada apa yang perjahat itu lakukan, tapi bagaimana bila legitimasi pembunuhan terjadi pada diri dan nyawa kita?

Menyatakan bahwa seseorang harus mutlak memutuskan hubungannya dengan masyarakat karena dia jahat sama artinya dengan mengatakan bahwa masyarakat secara mutlak baik, dan tidak seorangpun pada saat ini yang berpikiran waras percaya akan hal itu. Dalam hal ini terciptalah penjara sebagai tempat bagi para “pesakitan”, dikucilkan dari masyarakatnya. Penjara dianggap bisa menyelesaikan masalah. Kita lihat Guantanamo di Havana, penjara tertutup yang tidak diketahui kegiatannya.

Masyarakat kita ini benar-benar sedang sakit jiwa, merasa dirinya paling benar. Contohnya lihat saja golongan-golongan yang ada, ormas, halal dan haram, musyrik dan kafir. Orang yang percaya suara tuhan akan menyebut kafir mereka yang tidak mendengarnya. Pramoedya Ananta Toer di buang ke pulau Buru karena tulisannya yang sangat realis dan tuduhan Komunis karena menjadi tokoh LEKRA di bawah komado PKI, walaupun LEKRA tidak diintrvensi PKI. Hingga saya lebih suka menyebut diri pengidap skizoprenia, dan memang lebih baik mengalami amnesia daripada harus kehilangan kewarasan. Mungkin kita bisa lupa, tapi kita tetap akan selalu berpikir.

Camus mengutip perkataan Alphonse Karr: “Biarlah pembunuhan mulia segera dilakukan, karena ia tidak bermakna apa-apa lagi”. Ya. Pembunuhan mulia. Pembunuhan yang sah menurut logika hukum dan hak seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang keadilan telah menghilangkan arti nyawa dan arti keberadaan manusia. Kalimat ini saya nilai merupakan ungkapan kecewa dan keputusasaan ketika hukum yang mengatasnamakan keadilan telah mereduksi keberadaan manusianya sendiri.

Dalam hubungannya dengan kejahatan, bagaimana mendefinisikan peradaban kita ini? Jawabannya sederhana: sudah 30 tahun ini (pada masa sekarang mungkin tebih dari 80 tahun sejak masa Camus) kejahatan penguasa lebih banyak daripada kejahatan individual. Yang terpenting bukanlah penguasa tetapi Indivudual. Bagiamana bisa penguasa berkata pertumbuhan ekonomi negara kita sudah lebih baik, sedangkan PHK marak terjadi, kemiskinan merebak. Lebih jahatnya lagi, di masa menjelang pemilu ini banyak uang penguasa yang keluar untuk membuat promosi dan tim sukses, padahal uang mereka sangat berguna bila digunakan untuk memakmurkan orang kecil di sekitar mereka. Mungkin penguasa kita lebih suka memulai sesuatu dari yang besar, daripada memulai sesuatu dari hal kecil.

Di Jepang pejabatnya kerap melakukan bunuh diri jika terlibat korupsi, hal ini Bukan sekedar bunuh diri biasa. Tapi dalam tradisi samurai, mereka akan merasa terhormat dengan mati bunuh diri sebagai bentuk tanggungjawab moralnya bukan karena rasa malu.

“Pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi berguna”. Seorang pembunuh berantai mungkin dalam masyarakat kita pantas dihukum mati, karena dinilai tidak sesuai dengan kebiasaan yang tertanam dalam masyarakat itu sendiri. Tapi dengan membunuh sang pembunuh kita tidak sedang menegakkan keadilan tetapi kita sedang melakukan pembunuhan lainnya. Pembunuhan dengan legitimasi.

Manusia menjadi tidak berguna saat hukum telah dianggap sempurna. Sebuah wacana anti otoritarian yang cukup komprehensif di tengah kehidupan yang tergambar dalam sepenggal lirik Homicide, “Ditengah hidup yang menyerupai rutan yang kehilangan sipir, mengepal jemari hari ini sesulit membongkar jaringan pembunuh Munir”. Sadar atau tidak kita sedang merakit neraka bagi diri kita sendiri.

Dan sungguh benar bila tulisan saya ini masih jauh dari sempurna.

Siapa yang hendak bercinta?

|
Minggu, 6 Desember 2009. (19.56- 20.36)

Mungkin sudah “dari sananya” kalau perempuan kodratnya harus menunggu lelaki untuk menyatakan perasaannya. Lalu sebenarnya siapa yang ingin bercinta? Lelaki atau perempuan?
Keseluruhan tulisan ini adalah asumsi saya pribadi dan bukan tidak mungkin ada teori yang pernah saya baca yang juga tersisip didalamnya. Walahualam hehehe… Semoga asumsi ini bisa berkembang menjadi pengetahuan hehehe…

Kamu-kamu ada yang berkoar meneriakkan emansipasi wanita dan feminisme. Dalam konteks ini saya tidak bermaksud mempersempit makna emansipasi dan feminism dalam hal tembak-menembak ala pacaran masa kini hehe…

Satu, karena saya tidak tahu banyak tentang Feminisme dan emansipasi tapi karena saya orang yang gatel dan suka sok tahu jadi tulisan ini ada. Dua, karena saya takut kalau wanita mendominasi dunia nantinya tidak jauh berbeda dengan dunia yang didominasi pria.

Kata kuncinya adalah toleransi. Toh, banyak juga perempuan yang memiliki peran penting di dalam aspek-aspek kehidupan. Walaupun tidak sedikit juga perempuan yang tidak mendapat kesempatan yang sama dengan lelaki dalam ruang-ruang tertentu.

Lalu siapa yang ingin bercinta?

Apa yang lelaki lihat dari wanita? Dalam dunia yang kompleks ini, persepsi tentunya dipengaruhi oleh factor rujukan yang tidak bisa lepas dalam kehidupan sehari-hari. Misal dari imaji yang dimunculkan dalam iklan shampoo dan sabun, sinetron, film, SPG otomotif, caddy golf, dan lain-lain. Walaupun masih banyak factor yang juga mempengaruhi.

Banyak eksploitasi pada tubuh wanita, hingga menurut saya pribadi, “kecantikan” seorang wanita mengacu pada imej yang disajikan salah satunya melalui media massa. Gejala yang saya sebut sebagai era over-artifaktual. Dimana seseorang menilai dan mempersepsi suatu objek yang dilihatnya hanya berdasarkan atribut yang dikenakan oleh seseorang tersebut yang mengandung nilai lebih yang minim makna.

Apa ini juga masuk dalam kajian postmodernisme? Saya tidak tahu, karena saya belum banyak mencari tahu tentang posmodernisme, tapi mungkin sudah banyak saya rasakan akibatnya hahaha…

Beberapa bulan yang lalu, saya dapat THR lebaran idul fitri, saya belikan buku. Saya tertarik pada buku Barbie Culture (yang sebenarnya baru saya baca sekilas hingga hari ini hehehe) yang mengangkat fenomena boneka Barbie sebagai salah satu media untuk mengkonstruksikan konsumerisme, multi-etnisitas dan lain sebagainya.

Tubuh wanita menjadi objek yang sangat luar biasa. Lelaki normal mana yang menolak melihat payudara, bokong indah, hingga impian vagina yang rekat seperti pseudo-reality yang ada dalam film-film porno. Atau ini hanya pikiran saya saja?

Haha… Saya sungguh menyayangkan wanita hanya menjadi sekedar objek. Mungkin karena dari situlah muncul gerakan feminisme dan emansipasi wanita. Keistimewaan yang mereka miliki itulah mungkin yang membuat wanita menjadi objek yang menawan. Meskipun saya tidak bisa mendefinisikan keistimewaan apa yang saya maksud.

Wanita akan menjadi ibu. Menawan dan anggun. Ibu saya adalah wanita yang sempurna bagi saya. Segala keterbatasannya membuat saya sangat mencintainya. Sebisa mungkin saya menjaga ucapan saya dari kata-kata kotor, karena mulut yang saya pakai untuk bicara ini adalah mulut yang sama yang saya gunakan untuk mencium kening dan tangannya sebelum saya pamit pergi keluar rumah.

Saya tidak bisa membayangkan saya pernah hidup dalam rahim seorang ibu. Maka saya menghargai setiap wanita dalam hidup saya karena kelak mereka akan menjadi ibu bagi orang-orang seperti saya, manusia.

Lalu siapa yang hendak bercinta? Lelaki atau perempuan? Atau keduanya? Apakah memang dikotomi pria dan wanita dibutuhkan? Ataukah hanya akan ada satu kata untuk mendefinisikan ini semua? Ya, MANUSIA.

Lalu apa yang perempuan lihat dari laki-laki? Saya tidak tahu. Hanya saja yang pernah sekali saya rasakan. Lelaki itu haruslah orang yang mapan dan bisa memuaskan kebutuhannya. Meskipun tidak semua wanita begitu.

Tapi lagi-lagi semua ini adalah akibat gejala over-artifaktual yang tadi telah saya jelaskan. Simbol-simbol yang mengurung pikiran manusia dalam frame-frame atribut yang menjadi luar biasa berharga. Cobalah sehari saja kamu menjadi seorang nihilis, maka kamu akan tahu apakah atribut merk dan rujukan persepsi yang kamu miliki itu benar-benar punya makna yang jelas atau tidak? Sekali saja kamu mencoba, niscaya kamu akan tahu kalau atribut-atribut yang kamu kenakan itu sama berharganya seperti seonggok kerikil di trotoar saja.

Tapi terserah kamu mau memilih hidup yang seperti apa. Tidak apa-apa kalau kamu mengatakan saya ini Sisifus yang terdampar diabad baru.

Betapa bahagianya anak cucu kita nanti yah!!!

Berkelindan Ruam

|
Rabu, 30 Desember 2009.
(02.30 - 03.21)


Sebenarnya saya bukan pemuja waktu. Waktu dalam pengertian detik, menit, jam, hari, bulan, tahun. Lupakan tentang itu. Waktu adalah waktu. Dia bukanlah apa-apa. Waktu saat ini adalah simbol dari entitas hedonis, euphoria, dan candu dynosian yang terjebak dalam hegemoni momentum yang terasa demikian dahsyat.

Namun. Seperti sering saya sebutkan kalau saya hanya percaya pada adanya siang dan malam. Udara merayap dalam paru-paru memompa jantung memaksa otak memeras syaraf-syaraf untuk bergegas.Hari ini bukanlah hari ini. Besok bukanlah besok. Seperti hampa bukanlah kosong, tapi tiada.

Kami yang terus membakar kepalan dalam utopi dan perayaan mimpi dalam hati tetap setia mengawasi putaran laknat ini berdentum menggila.

Jika Gibran berkata: "Kemarin adalah pengalaman, hari ini adalah hadiah, dan esok adalah harapan". Setiap malam berganti siang saya serentak menyambut hadiah yang datang dengan gratis.

Nietszche berteriak, "Suaraku bukan suara untuk telinga-telinga kalian" dan "esok adalah milikku". Masa depan. Saya yang menolak keseharian masih saja mendendangkan masa depan dan masih menggantungkan harapan.

Ya Gibran mungkin benar.

Nietszche juga tepat.

Bulu kudukku berdiri sesaat setelah melihat peluh mengalir deras diantara moralitas yang bertarung dengan watak idiot sebagian manusia yang enggan mengagungkan jiwanya.
Mereka yang bersujud pada kolase logika dan penggandaan epos tua bangka dan pelacur yang damai bersemayam di tengah rayap-rayap yang ramai-ramai menyelimuti kegelisahan dan watak urakan.

Kalian para kawan yang kumuliakan seperti teriakan mimbar pasca kamis malam, kalian yang menjadikanku memiliki sepenggal makna dalam kisah cinta dan kebencian kita.
Demi hewan-hewan berpikir yang sangat rasional dalam tempurung material. Dengan segenap kelopak mata yang menganga dalam penat, energi ini aku sembahkan kepada setiap kerontokan makna dalam prasangka bisu.

Senyum apa yang telah kita lempar pada tahun ini?

Untuk apa air mata kita menetes dalam kurun interval awal dan akhir bagian sejarah peradaban ini.

Maaf, aku lupa.Kita bukan bagian dari sejarah. Kita yang terbuang dalam pengasingan. Mencoba memberi cubitan ringan dan kecup mesra pada cleopatra dan medusa.

Selamat membuat resolusi.Selamat menanti harapanmu terwujud. Hari ini adalah hadiah milik kita, raih, rebut, jamah dah perkosa hingga hasratmu terpuaskan.

Cheers untuk setiap tegukan racun tikus, dan lopatan keputusasaan sahabat kita yang telah menjadi nisan di atas kakus berkelambu menyan!

Sumbu telah terbakar. Kita saksikan nanti bagaimana kembang api itu berpijar!

Demi Proudhon. Ini penghujung tahun yang indah!!!

|

Minggu 27 Desember 2009. (19.41 – 23.38)

“Kerena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya. Karena setiap aksara membuka jendela dunia”. (Efek Rumah Kaca – Jangan Bakar Buku.mp3)

Hmm… saya tidak punya cukup kata untuk menjadi kalimat pembuka. Tahun ini memang sangat luar biasa. Banyak berita-berita dan informasi-informasi yang masuk kedalam otak saya dan juga mungkin teman-teman di sisi computer sebelah sana.
Karena rasanya alienasi ini sangatlah menyenangkan sekaligus menyebalkan. Saya hanya jadi penonton dalam realita maupun dunia virtual. Shit! Ya. Saya pasrah saja. Karena diri ini sudah terbuang jauh dari kenyataan, entah kenyataan yang mana?

Negara memang menyebalkan. Saya dan kalian tidak punya pilihan selain menjadi warga Negara. Saat terlahir kita masih polos dan lugu. Kita lahir telanjang. Kemudian orang tua kita memberikan atribut di tubuh untuk kita kenakan. Disitu mulai dibedakan kamu pria atau wanita. Agama? Pasrah saja. Kita mau tidak mau harus mengikuti kepercayaan orang tua kita. Di kota apa kita tinggal? Ras apa diri kita ini? Suku apa diri kita ini? Warga Negara mana kita ini?

Kita lahir telanjang. Ya, kemudian dunia menyambut dengan segala kemewahan dan kemegahan di iringi aroma kamboja di atas nisan bernama kewarasan. Haha. Negara itu menyebalkan. Untuk menjadi warga negaranya saja banyak aturan. Kita (mungkin kamu tidak merasa) bahkan baru diakui menjadi warga Negara bila genap berusia 17 tahun. Kamu akan dapat KTP dan hak kamu sebagai warga Negara akan diakui. Okelah kalau begitu.

Tapi manusia tidak bodoh, pikiran selalu berkembang. Resapi ideology yang kamu yakini, hingga akhirnya kamu temukan dan yakini apa yang busuk dalam dunia ini!

Salah satu hak yang dimiliki warga Negara sesuai pasal 28 UUD 45 tentang Hak Asasi manusia terutama pada pasal 28F adalah Pasal 28F, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **) (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/UUD_45)
Sebenarnya bisa saja saya bersikap masa bodoh. Tadi masa saya cukup bodoh untuk diam saja, setidaknya saya merasa tulisan ini ada gunanya. (MUNGKIN).

Coba lihat kasus Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional yang sangat kontroversial akibat email yang dituding mencemarkan nama baik RS tersebut dan Luna Maya yang baru saja terjerat kasus dengan wartawan akibat kata-katanya yang menyindir wartawan di akun twitternya. Semua terjerat UU ITE. Bertabrakan dengan dualism hukum yang belum saya pahami betul sampai saat ini.

Yang luar biasa saat ini adalah fenomena Koin Cinta Untuk Prita. Sebuah aksi solidaritas yang sangat luar biasa menurut saya selain Pemilu presiden. Bedanya Prita hanya Warga Negara biasa. Sedangkan aksi memilih presiden di mobilisasi oleh partai dan lain-lain.

Solidaritas melalui Koin Cinta Untuk Prita menurut saya merupakan sebuah gerakan untuk mendobrak hegemoni hukum yang luar biasa carut marut di negeri ini. Saya tidak membicarakan keadilan, karena bagi sebagian orang keadilan adalah wacana urakan era pithecanthropus erectus.

Penggalangan dana itu muncul akibat adanya tuntutan perdata lebih dari 200 juta rupiah. Kemudian masyarakat dari berbagai penjuru negeri ini merespon dengan ramai-ramai mengumpulkan koin. Yang kalau di timbang seberat 6 ton. Luar biasa bukan.

Menurut seorang sosiolog yang saya lupa namanya (ubanan gitu, siapa yah?? Anjis poho pisan euy hampura!!) koin merupakan symbol dengan dua sisi yang berlawanan. Yang satu menunjukan nominal sedangkan yang satu menggambarkan ideology bangsa yang sampai saat ini belum tercapai.

Saya tertarik dengan fenomena Koin ini. Apakah termasuk Aksi Massa Atau Anti Massa? Sebenarnya saya ragu apakah ini berkaitan dengan konteks aksi massa dan juga pampflet anti massa. Tapi sudah kepalang haha.

Tan Malaka dalam buku Aksi Massa menyebutkan, “Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.” Ini merupakan aksi yang terjadi abibat dari tumbulnya pertentangan kelas dalam factor: ekonomi, social, politik dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan dilain pihak.

Jika dikaitkan, mungkin penggalangan koin itu merupakan bentuk perlawanan rakyat yang frustrasi melihat carut-marutnya hukum di Indonesia dan juga akibat adanya rasa simpati yang begitu besar pada Prita Mulyasari. Semakin seseorang berkuasa, semakin dekat dengan tiran. Mungkin.

Sedangkan dalam pengantar Pamflet Anti-Massa oleh penerbit Katharsis, “…, maka metode Anti-Massa ini lahir dari kesadaran politis yang mengutamakan efektivitas kerja daripada menggelembungkan jumlah massa.” Kesadaran politis tanpa hirarki, tapi saya ragu kalau semua penyumbang memiliki kesadaran politis.

Terlepas dari itu, saya melihat besarnya respon masyarakat terhadap kasus ini. Berarti ada sesuatu yang harus di waspadai pemerintah selain bahaya laten PKI, yaitu aksi massa yang lebih besar jika permasalahan yang seperti bola salju semakin besar dan membesar tanpa terselesaikan.


Soekanto mengatakan, “Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia.” Tetapi baik dan buruknya harus dilihat dari seberapa jauh kekuasaan berdampak dalam suatu kehidupan dalam masyarakat. Masih ada diantara kita yang menganut Xenophobia, hingga tak jarang menjadi fasis dan fundamentalis.


Pertanyaannya. Apakah kekuasaan yang telah diberikan oleh para pemilih kepada pemimpin-pemimpin negeri ini dapat mewakili suara rakyat?


Jangan katakan suara tuhan, suara rakyat. Karena banyak rakyat yang masih bingung dengan tuhan bahkan meragukannya.

Yang sekarang menjadi hot news adalah buku yang dikeluarkan oleh George Junus Aditjondro berjudul Membongkar Gurita Cikeas. Belum-belum grand launching dilakukan , presiden kita langsung bereaksi, seperti yang saya baca dan dengar di media massa bahwa beliau prihatin dengan terbitnya buku tersebut. Terlepas dari isinya yang kalau dilihat akan banyak menyinggung dan menguak informasi tentang SBY, partai yang mendukungnya, dan simpatisan lainnya, (walaupun saya belum baca) buku ini merupakan usaha untuk membongkar skandal yang terkait pemerintah. Belum apa-apa telah diberitakan kalau buku ini harus di tarik dari pasaran, dan ada isu pembelian besar-besaran oleh oknum yang juga melakukan terror terhadap Aditjondro. Entahlah, bahkan media massa kadang sering membuat bingung.

Fakta adalah apa yang kita temukan. Bukan dari desas-desus, tapi karena memang kita hidup dalam bangsa penggosip jadi wajar saja kalau banyak hal yang belum terbukti kesahihannya menjadi sesuatu yang diyakini.


Atau mungkin kita semua harus belajar dari para nihilis. Kita tinggalkan semua atribut. Kita telanjangi diri-diri kita seperti saat kita baru terlahir. Kita buat sendiri kekuatan sesuai kemampuan kita tanpa harus terdaftar. Hingga kesetaraan menjadi wacana using. Hingga semua bisa tersenyum, berdansa dan saling mengecup mesra. AMOR FATI.

Kita lihat saja perkembangannya. Walaupun sebenarnya saya tidak terlalu peduli.

Semoga tulisan saya ini tidak berdampak apapun dan tidak terjerat hukum apapun.

Cuplikan terjemahan jawaban dalam wawancara Albert Camus “The Wager of Our Generation”, atau “Taruhan Generasi Kita”.


--Ya, ada matahari dan kemiskinan di dunia saya. Dan olah raga yang darinya saya belajar segalanya tentang etika. Kemudian perang dan perjuangan. Dan akibatnya, godaan untuk bersikap membenci. Menyaksikan teman dan kenalan terbunuh bukanlah pelajaran untuk mencintai orang lain. Godaan untuk membenci harus diatasi. Dan saya berhasil. Ini pengalaman yang harus diperhitungkan.---


Referensi:
1. Anti-Massa
2. Aksi Massa (Tan Malaka)
3. La Politica (Aristoteles)
4. Krisis Kebebasan (Albert Camus)
5. (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/UUD_45)
6. Sosiologi (Soerjono Soekanto).