Siapa yang hendak bercinta?

|
Minggu, 6 Desember 2009. (19.56- 20.36)

Mungkin sudah “dari sananya” kalau perempuan kodratnya harus menunggu lelaki untuk menyatakan perasaannya. Lalu sebenarnya siapa yang ingin bercinta? Lelaki atau perempuan?
Keseluruhan tulisan ini adalah asumsi saya pribadi dan bukan tidak mungkin ada teori yang pernah saya baca yang juga tersisip didalamnya. Walahualam hehehe… Semoga asumsi ini bisa berkembang menjadi pengetahuan hehehe…

Kamu-kamu ada yang berkoar meneriakkan emansipasi wanita dan feminisme. Dalam konteks ini saya tidak bermaksud mempersempit makna emansipasi dan feminism dalam hal tembak-menembak ala pacaran masa kini hehe…

Satu, karena saya tidak tahu banyak tentang Feminisme dan emansipasi tapi karena saya orang yang gatel dan suka sok tahu jadi tulisan ini ada. Dua, karena saya takut kalau wanita mendominasi dunia nantinya tidak jauh berbeda dengan dunia yang didominasi pria.

Kata kuncinya adalah toleransi. Toh, banyak juga perempuan yang memiliki peran penting di dalam aspek-aspek kehidupan. Walaupun tidak sedikit juga perempuan yang tidak mendapat kesempatan yang sama dengan lelaki dalam ruang-ruang tertentu.

Lalu siapa yang ingin bercinta?

Apa yang lelaki lihat dari wanita? Dalam dunia yang kompleks ini, persepsi tentunya dipengaruhi oleh factor rujukan yang tidak bisa lepas dalam kehidupan sehari-hari. Misal dari imaji yang dimunculkan dalam iklan shampoo dan sabun, sinetron, film, SPG otomotif, caddy golf, dan lain-lain. Walaupun masih banyak factor yang juga mempengaruhi.

Banyak eksploitasi pada tubuh wanita, hingga menurut saya pribadi, “kecantikan” seorang wanita mengacu pada imej yang disajikan salah satunya melalui media massa. Gejala yang saya sebut sebagai era over-artifaktual. Dimana seseorang menilai dan mempersepsi suatu objek yang dilihatnya hanya berdasarkan atribut yang dikenakan oleh seseorang tersebut yang mengandung nilai lebih yang minim makna.

Apa ini juga masuk dalam kajian postmodernisme? Saya tidak tahu, karena saya belum banyak mencari tahu tentang posmodernisme, tapi mungkin sudah banyak saya rasakan akibatnya hahaha…

Beberapa bulan yang lalu, saya dapat THR lebaran idul fitri, saya belikan buku. Saya tertarik pada buku Barbie Culture (yang sebenarnya baru saya baca sekilas hingga hari ini hehehe) yang mengangkat fenomena boneka Barbie sebagai salah satu media untuk mengkonstruksikan konsumerisme, multi-etnisitas dan lain sebagainya.

Tubuh wanita menjadi objek yang sangat luar biasa. Lelaki normal mana yang menolak melihat payudara, bokong indah, hingga impian vagina yang rekat seperti pseudo-reality yang ada dalam film-film porno. Atau ini hanya pikiran saya saja?

Haha… Saya sungguh menyayangkan wanita hanya menjadi sekedar objek. Mungkin karena dari situlah muncul gerakan feminisme dan emansipasi wanita. Keistimewaan yang mereka miliki itulah mungkin yang membuat wanita menjadi objek yang menawan. Meskipun saya tidak bisa mendefinisikan keistimewaan apa yang saya maksud.

Wanita akan menjadi ibu. Menawan dan anggun. Ibu saya adalah wanita yang sempurna bagi saya. Segala keterbatasannya membuat saya sangat mencintainya. Sebisa mungkin saya menjaga ucapan saya dari kata-kata kotor, karena mulut yang saya pakai untuk bicara ini adalah mulut yang sama yang saya gunakan untuk mencium kening dan tangannya sebelum saya pamit pergi keluar rumah.

Saya tidak bisa membayangkan saya pernah hidup dalam rahim seorang ibu. Maka saya menghargai setiap wanita dalam hidup saya karena kelak mereka akan menjadi ibu bagi orang-orang seperti saya, manusia.

Lalu siapa yang hendak bercinta? Lelaki atau perempuan? Atau keduanya? Apakah memang dikotomi pria dan wanita dibutuhkan? Ataukah hanya akan ada satu kata untuk mendefinisikan ini semua? Ya, MANUSIA.

Lalu apa yang perempuan lihat dari laki-laki? Saya tidak tahu. Hanya saja yang pernah sekali saya rasakan. Lelaki itu haruslah orang yang mapan dan bisa memuaskan kebutuhannya. Meskipun tidak semua wanita begitu.

Tapi lagi-lagi semua ini adalah akibat gejala over-artifaktual yang tadi telah saya jelaskan. Simbol-simbol yang mengurung pikiran manusia dalam frame-frame atribut yang menjadi luar biasa berharga. Cobalah sehari saja kamu menjadi seorang nihilis, maka kamu akan tahu apakah atribut merk dan rujukan persepsi yang kamu miliki itu benar-benar punya makna yang jelas atau tidak? Sekali saja kamu mencoba, niscaya kamu akan tahu kalau atribut-atribut yang kamu kenakan itu sama berharganya seperti seonggok kerikil di trotoar saja.

Tapi terserah kamu mau memilih hidup yang seperti apa. Tidak apa-apa kalau kamu mengatakan saya ini Sisifus yang terdampar diabad baru.

Betapa bahagianya anak cucu kita nanti yah!!!

0 komentar: