Sebuah Kehidupan Nyata: Membongkar kerangka moralitas, kebinatangan dan kebusukan!!!

|
31 Maret 2009- 1 April 2009,

Senin 23.22-00.55.

Satu hal yang tidak pernah kita pelajari, tetapi kita telah pandai menjalaninya, bahkan dengan kesombongan, keangkuhan, dan juga tak jarang melangkah bersama kebodohan. Satu hal itu adalah kehidupan. Sebuah anugrah yang maha dahsyat. Hanya sekali, tanpa siaran ulang seperti sepak bola atau video klip di televisi.

Hingga malam perenungan ini datang, saya telah banyak mengkonsumsi ratusan teks dalam halaman-halaman dari beragam buku-buku, artikel, puisi, prosa, literatus ideologi hingga daftar isi kandungan sebuah produk sabun, odol dan shampoo.

Kita sering berfikir kalau kita ini pintar. Sungguh kita memang sering brsembunyi dan bermain dengan kemunafikan. Bergantian mengenakan topeng yang berbeda setiap hari.

Langit masih di atas kita kawan!! Bumi juga masih kita pijak. Saya ini hanya binatang yang terpuruk di trotoar. Ya, manusia memang binatang. Terkadang manusia menjadi seperti Tumbuhan, karena memang banyak bulu yang tumbuh ditubuh kita, belum lagi pertumbuhan bagian tubuh yang lain akibat hormon.

Sebagian dari kita tumbuh lebih cepat dari yang lainnya.

Teman saya sangat canggung dengan Pembina skripsinya, karena dia memandang kalau sang dosen pembimbingnya itu lebih pintar darinya. Saya katakan padanya, “Semua orang itu pintar. Sama saja. Dia lebih pintar karena dia telah mendapat banyak ilmu daripada kita. Bahkan tanpa sekolahpun kita bisa sepintar dia andai saja kita mau membaca dan menggali, mencari tahu ada apa saja sih di dunia ini”.

Dia merenungkan perkataan saya. Sayapun tak kalah bingung. Darimana kebijaksanaan itu datang? Sedangkan saya tidak pernah berada dalam situasi yang dia hadapi. Ya Itulah manusia. Itulah keajaiban hidup. Akal!!

Kita semua memang sangat bangsat. Manipulatif. Kau juga bangsat kawan, sama seperti saya. Hanya saja mungkin kebangsatan kita berbeda sebab musababnya.

Kebangsatan saya adalah seringnya saya mengganggu hidup orang. Mengajak diskusi tentang sesuatu yang tak pernah mereka pedulikan, bakhkan mengulik masa lalu yang pahit sekalipun saya tega. Hiraukan saja saya. Annoying. Memang sungguh mengganggu. Menyebalkan. Tapi saya senang dan bahagia menjadi si bangsat ini. Karena mungkin dari diskusi itu pikiran saya malah menjadi sederhana. Toh dunia dan kehidupan ternyata berjalan baik-baik saja, tidak serumit dalam kepala saya. Memang akan sangat rumit jika kita terlalu berlebihan merencanakan sesuatu tanpa realisasi. Sebuah representasi jika manusia ini sangat rapuh dan linglung kadangkala.

Ya biarkan saja setiap orang memilih jalan hidupnya. Saya tidak berjalan di lintas kiri maupun kanan. Di tengah juga saya masih ragu, semua terlihat abu-abu. Saya tidak pernah mengklaim diri yang paling sempurna dan paling memiliki kebenaran. Karena kebenaran tunggal yang absolute itu hanya milik sendiri. Dialektika kebenaran dan keadilan tidak akan menemukan titit temu, karena realitas itu subyektif. Kalau kata Hadi di profile Facebooknya, Religion: Deeply Personal. Bravo kawan!!!

Saya tidak ingin ketika mati nanti saya dikenang sebagai orang yang mulia. Karena seperti sudah saya katakan tadi, saya ini hina, kotor, nyaris tidak bermartabat. Nanti juga kalian tahu. Tapi saya tidak hanya membongkar borok sendiri, melainkan (mungkin) borok kalian juga haha… Masih bernyali kan??

Laki-laki. Dajal dan onani. Oral, anal, menjadi alat masturbasi. Siapa yang belum pernah melakukannya? Itu baru dosa besar. Jahanam kalian.

Sebidang kotak hitam menatapku. Saya dan kotak itu saling menajamkan pandangan. Dalam genggaman saya ada sebuah remote untuk mengendalikan mana yang ingin saya lihat. Kami saling menghipnotis. Tapi dayanya lebih kuat dari yang saya punya. Dia memang sumber segala sesuatu. Namun kurang ajarnya, dia tidak memiliki lembar kedua. Hanya selembar narasi yang dia muntahkan dan dia paksakan untuk saya terima dan saya lahap. Mentah-mentah siap atau tidak harus saya lahap. Jahatnya lagi, dia membawa oleh-oleh ratusan pencitraan produk, yang bergentayangan seperti hantu, pada jam tayang utama. Saya jadi rindu sinetron jadul berjudul “Noktah Merah Perkawinan” yang dibintangi Cok Simbara, atau “Tersanjung” yang fenomenal.

Dimanakah hasrat saya? Dia hampir selalu diam dan menangis, terpuruk di ujung lorong ditengah cahaya kegelapan. Kata embah saya Albert Camus, orang yang kuat itu tidak takut untuk meneteskan air mata. Tapi karena sering menangis dan mengeluh saya justru dibilang cengeng. Siapa yang salah? Mana yang benar? Masyarakat memang tidak tahu apa-apa tentan saya. Mereka menjadi hakim dan terkadang menjadi tuhan.

Sungguh kebebalan itu entah berasal darimana sumbunya. Ingin rasanya menjadi arsonist, saya bakar setiap pemukiman, dan setiap orang, kakek-nenek, pria-wanita, anak-balita, bahkan saya bakar juga orang tua saya. Kemudian saya bakar diri saya sendiri. Kalian lebih baik mulai waspada.

Saya disebut kafir, musyrik oleh mereka. Siapa mereka? Jelmaan tuhan? Hah, persetan. Saya adalah hamba bagi diri saya sekaligus tuan (Bukan Tuhan) bagi diri saya sendiri.

Persahabatan dan pertemanan itu selalu berdasarkan kepentingan kata Reza teman satu grup, (mungkin Boy Band) debat dan diskusi saya. Benar juga koq. Lagi-lagi embah saya Albert Camus mengatakan jika kita ini sebenarnya memperbudak teman dan sahabat kita. Kita meraih sesuatu dengan cemerlang dimana teman kita hanya menjadi penonton. Mereka hanya sekedar pemenuh hasrat bagi kita. Misalkan: Ketika saya sedang kesepian, saya selalu mencari teman untuk bercerita tentang apapun dimana saya selalu menjadi Pusat pembicaraan. Ya, mereka hanya pemenuh hasrat. Baru tahu kan kalian? Ya sebutlah dan teriakan hidup kebangsatan. Toh kalian juga kadang pernah menjadikan saya pemenuh hasrat itu kan haha…

Dalam melihat kesalahan fatal. Kadang kita bisa memaafkan seseorang atas kesalahannya. Memang benar. Tapi dalam masyarakat kita justru banyak yang mampu memaafkan tapi belum tentu bisa melupakan kesalahan seseorang tersebut. Dendam kesumat? Saya juga sering seperti itu. Tidak baiklah bagi kesehatan mental, dilihat dari sudut pandang psikologis.

Apalagi jika kita bicara tentang cinta. Sebuah omong kosong besar. Narasi kepalsuan. Di masa sekarang arti cinta telah tereduksi menjadi setitik atom, Bukan semakin bermakna, tapi semakin nyaris tak bermakna lagi. Romeo dan Juliet harusnya menjadi cermin, tapi kini menjadi komodita. Kalau kamu cinta pasangan kamu, maka kamu harus mau melakukan apapun, misal: membelikan berlian, perhiasan. Saat ini memang cinta harus penuh modal. Romantisme mati di hajar oleh realisme. Memang dalam masa seperti ini mutlak kita harus melakukan kompromi, namun tanpa menjual jiwa kita. Cinta itu perasaan, tapi dengan eksistensi sebagai manusia, kita butuh makan, Bukan butuh cinta untuk hidup. Ah, entahlah.

Saya kan laki-laki. Tapi saya tidak mabuk, narkoba, pokoknya hidup sehat, bahkan merokok baru saya mulai 2 minggu yang lalu karena stress yang tidak tertahan. Karena orang bilang merokok itu macho, haha… Betapa bodohnya orang yang berpikiran seperti itu. Mana ada tulisan merokok itu macho? Merokok itu menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin Bodoh!! Seks itu baru yang disebut macho!!! Dalam kesempatan ini sebagai laki-laki maka saya coba menerjemahkan perempuan. Ini sungguh menunjukan wajah saya, mungkin wajah kalian juga.

Saya sangat menghargai perempuan. Tapi perempuan hanya wadah eksploitasi hasrat binatang para lelaki saja. Cabul. Ya kita semua cabul. Pasti ada diantara kalian yang menolak untuk mengaku. Haha… coba saja saat kalian menikah dan menikmati malam pertama, atau saat kalian menikmati apa yang disebut sebagai perzinahan dalam konteks agama, atau saat kalian menggerayangi tubuh perempuan-perempuan kalian. Betapa empuknya payudara itu Bukan? Masih ingat perempuan mana yang kalian sentuh pertama kali? Indah rasanya saat pertama kali menemukan puting atau menyusuri bulu-bulu lebat diantara Vagina. Kemudian wanita itu mulai membuka retsleting celana kita, memainkan persneling, menjilat dan bahkan melakukan hal-hal yang ajaib. Kadang mendesah, atau mendapati celana dalam kita basah. Ini Bukan bicara porno, asusila, atau kata-kata tak bermoral. Saya hanya menulis secara lugas, blak-blakkan saja. Tak perlu malu. Toh kita memang biadab hahahaha… Orang tua kita juga melakukannya. Kalau tidak begitu bagaimana mungkin kita terlahir.

Justru moral itu adalah kemunafikan. Wong dibelakang moral itu kita sering berfantasi dalam kepala kita kan??

Hidup ini memang panggung sandiwara. Kita memang lakon yang sungguh sialan mampu menipu banyak orang. Kita selalu menampilkan diri sebagai pribadi yang baik di luar, secara fisik, menggunakan kata-kata yang baik seakan-akan kita ini orang paling beradab dan terpelajar. Dahsyat. Betapa naifnya. Sungguh penipu, pendusta. Laknat!!

Masih jauh lebih mulia seorang maling ayam yang ketahuan mencuri, diarak masa, dihantam hingga babak belur, kemudian disiram minyak tanah dan dibakar hidup-hidup. Pembakar itu yang biadab. Pencuri itu justru orang yang sangat jujur, mengapa dia mencuri? Ya mungkin dia jarang makan daging, dan sehari sebelum pencurian itu terjadi anaknya yang berusia 6 tahun ingin merasakan nikmatnya Mc.D atau KFC tapi si ayah tidak punya uang hingga akhirnya mencuri ayam dan membuat ayam Mc.d/KFC home made. Masyarakat menganggap dirinya beradab ketika mereka membakar maling. Ketotolan yang bermuara pada akal yang tak pernah digunakan.

Untuk membuat kue tart atau brownies, kita tidak perlu menggunakan akal, cukup saja membaca daftar resep dan kemudian menyatukan bahan yang ada. Justru yang memakai akalnya adalah yang pertama kali menciptakan resep itu.

Seperti pelajaran yang kita ambil, mungkin, dari berbagai literature, doktrin hingga ideology yang rumit dan yang hanya bisa memecah belah saja kerjanya. Kita ini plagiat, percaya atau tidak terserah pada kalian. Maka coba gunakan akal!! Persatuan tidak berakar dari keberagaman.

Puas rasanya menertawai diri sendiri. Maaf bila diantara kalian ada yang tersinggung, itu mungkin karena kalian tidak dapat menerima kebinatangan dalam diri kalian sendiri.

Saya sempat tersentil dengan saudara Moko pada notesnya. Ya karena saya tersentil, berarti saya sulit menerima realita yang ada. Kita memang hidup saling tergantung satu sama lainnya. Ya kalau dalam pelajaran sosiologi atau antropologi juga kita telah diajarkan kalau manusia adalah makhluk social. Bersimbiosa, beradaptasi dan kadang juga saling meniru, imitasi. Tidak ada lagi yang asli. Untuk apa berjuang menjadi sesuatu yang asli dan baru jika disekitar kita telah penuh dengan imitasi? Kepuasan jiwa jawabnya? Absurd sekali yang kalian katakan kawan!! Sedangkan kita sering mengidolakan seseorang bahkan tuhan sekalipun. Tak perlu lagi malu menjadi imitasi, toh itu hanya kegiatan meniru, Bukan sesuatu yang palsu. Justru kepalsuan itu jika saya, kalian dan juga mereka merasa sebagai orang yang paling suci di dunia.

Tapi percaya atau tidak, tulisan saya ini asli saya yang membuat. Tapi isinya? Tak perlu dipertanyakan lagi, sebut saja ini hasil saduran atau resensi dari seluruh pengaruh teks yang pernah saya baca seumur hidup saya.

Fase norak sering juga saya alami. Ajaibnya sampai saat ini saya masih norak.

Senang saat mendapat wacana baru, padalah saya masih kurang mengerti apa yang dibicarakan dalam wacana itu. Otak ini hanya berisi sampah masa lalu yang terbawa melalui teks yang sialnya isi, makna dalam teks-teks dari beberapa pengarang “si biang sial” itu masih sangat relevan untuk menjadi perdebatan.

Manusia itu bunglon, kadang menjadi buaya.

Nikmatnya meracau dimalam hari ini.

Tapi bukankah hal-hal yang saya tuliskan bisa kalian dapatkan dalam diri kalian sendiri?

Haha… Silahkan saja jika kalian ingin membalas dan menghantam kebinatangan, kebiadaban, kebangsatan, kedunguan, ketidakberadaban, serta ketiadaan moral dalam diri saya ini. Toh, kita semua memilikinya jauh didalam diri yang muncul dipermukaan social. Bangga juga menjadi seorang skizoprenia. Narcissus mati ditangan orang-orang seperti saya. Mencoba bersahabat dengan Caligula sang maniak. Tapi saya lebih suka menemani Sisifus ke puncak bukit sebelum kemudian ajal menjemput. Mampus saja!!!

Masih berharap menjadi seorang arsonist. Mulai mengumpulkan mesiu, sumbu dan wadah hingga saya rangkai dalam kalimat yang berubah menjadi ranjau.

Sebuah karya meracau yang menakjubkan Bukan? Semoga saja.

Silahkan bantah!!!

Sore Di Selatan Berbisik

|

Jakarta sore itu terlihat murung. Langit selatan tampak kelabu. Hari ini seakan kembali menghanyutkan jiwaku untuk terbangun dari lelap mimpi indah selama satu bulan belakangan. Di peron Stasiun UI aku menunggu kereta menuju Bogor bersama kedua temanku yang sibuk berdiskusi, sedangkan aku sibuk membuka lembar demi lembar buku “Pengakuan”, bukan suatu kebetulan saat lewat di salah satu toko buku di samping stasiun UI aku menemukan buku kumpulan cerita pendek Anton Chekov seorang cerpenis dari Rusia yang karyanya dinilai fenomenal oleh beberapa orang.

”Tik.. tik... tik...” Perlahan hujan menitik. Gerimis. Di peron menuju Jakarta terlihat sekumpulan mahasiswi menertawakanku, mereka memandang aneh. Tidak ada salahnya bila kita membuang sampah pada tempatnya, walaupun sampah itu kecil dan tempat sampah berada sekitar limabelas langkah saja.

”Jalur satu dari utara akan segera masuk KRL Ekonomi AC tujuan akhir Bogor dengan harga karcis Rp. 5.500, sedangkan KRL Ekonomi Biasa tujuan akhir Bogor berangkat Juanda karena mengalami gangguan.”.

Pengeras suara menyampaikan informasi dari petugas stasiun. Terlihat wajah-wajah kecewa, tetapi ada beberapa yang menukarkan tiketnya dengan tiket Ekonomi AC.

Kereta yang akan ku tumpangi pun datang. Perlahan melaju, melaju dan meninggalkan stasiun, menuju perhentian-perhentian berikutnya. Penumpang naik dan turun, turun dan naik di stasiun berikutnya. Aku memandangi langit dari kaca jendela kereta, ya, kereta ini berjalan sangat cepat, sama cepatnya dengan perkembangan zaman sekarang ini. Aku melihat rumah-rumah berdesakan, banyak lingkungan kumuh di pinggir rel.

”Brak!”

“Astagfirullah”. Nyaris seluruh penumpang di gerbong terperanjat.

Ternyata sebuah lemparan batu mengenai gerbong kereta, kejadian yang lumrah.

”Aku melihatnya. Ya, aku melihatnya.”

Anak-anak itu tertawa bahagia melempari gerbong, kadang dengan batu, tanah dan bahkan temanku pernah tersiram air comberan.

”Tapi sudahlah, lupakan saja!!”, aku bergumam dalam hati.

Lelah rasanya menatap langit yang katanya tak berujung itu. Untuk membunuh penat aku melanjutkan membaca buku, sambil mengingat kejadian kecil di stasiun tadi.

“Haha…” aku tertawa dalam hati.

Pada malam harinya aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar mendedikasikan sedikit waktu menulis catatan kecil realitas bagi anak kecil yang tadi sore menyanyikan lagu ceria dengan botol plastic berisi beras sebagai alat musik.

Bersama nyanyian itu dia membagikan amplop kepada beberapa orang di barisan kursi peron yang berisi alasan dia mengamen. Ya, dia mengamen untuk biaya sekolah dan sekedar untuk membantu orang tuanya. Sekelebat lalu aku teringat sepenggal bait lagu Iwan Fals,

“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu!”.

Dalam sebuah pandangan lain, beberapa orang mungkin menganggap orang tua anak kecil itu mengeksploitasi jiwa yang masih polos dan lugu. Tetapi itu adalah wajah carut-marut kehidupan kita dengan kemiskinan sebagai topeng yang mereka kenakan.

“Oh, bukan, bukan, tapi bukan itu, bukan kemiskinan yang mereka gunakan sebagai topeng, tapi kemiskinan menggunakan mereka sebagai topeng.”, suara dalam kepalaku berusaha meluruskan.

Sayangnya, hanya sedikit yang masih bisa melihat makna balik topeng itu.

Hmmm… Beberapa minggu lalu aku berkirim surat lewat alam maya dengan seorang wanita yang seumuran dengan ku, dia adalah salah satu calon anggota wakil rakyat di daerah, sebut saja daerah “antah berantah”.

“Mengapa kau mau menjadi wakil rakyat?”, tanyaku.

“Ya karena aku ingin mengetahui cara kerja wakil rakyat, dan semoga kalau terpilih aku bisa membantu orang banyak dan menyuarakan harapan mereka!”, balasnya kemudian.

Sebuah jawaban yang amat klise menurutku.

Saat ini mungkin memang segala sesuatu sudah dinilai hanya berdasarkan keuntungan, kekuasaan, pamrih, dan segala macam jenis perhitungan lainnya. Bahkan untuk menolong orang susah saja banyak yang merasa harus menjadi orang kaya terlebih dahulu. Bicara tentang kesejahteraan, bagaimana mungkin bisa terwujud jika mentalitas yang ada tersusun dari uang recehan.

Temanku berkata dalam lirik lagunya,

”Bicara tentang perubahan, tapi kontribusi apa yang sudah kau lakukan untuk hidupmu sendiri kawan?”.

Jika saja puluhan raja-raja itu bersedia mengeluarkan seluruh pundi-pundi emas dan mengikhlaskan upeti yang mereka dapatkan, tentunya sudah tidak diperlukan lagi kata “kemiskinan” dalam setiap bahasa di dunia, dan kemudian kata “kesejahteraan” menjadi absurd ditengah kesetaraan. Hingga tak ada lagi budak yang menghamba pada tuan tanah. Tapi nyatanya, masih banyak tuan tanah yang takut akan kehilangan harta, padahal dalam hati kecil mereka terkadang merasa iba saat melihat hamba-hamba lain yang menanti iba di pinggir jalan.

Sungguh dunia yang membingungkan.

Ini hanya bagian kecil dari apa yang aku diskusikan bersama beberapa sahabat, hal demikian adalah sesuatu yang lucu, kehidupan ini memang merupakan sebuah panggung parody dimana setiap pelakon memainkan peran sebagai orang yang mengutamakan kedigdayaan sebagai raja atas dunia dan seisinya, sehingga seakan-akan orang yang tak berdaya hanya diperlakukan sebagai penikmat sisa-sisa kemakmuran.

“Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, Chairil Anwar berteriak dalam karyanya.

Demikian pula teriakan dalam hati kecilku,

“Aku ingin hidup seribu tahun lagi, agar aku dapat melihat sampai kapan kebodohan ini menjejali otak mereka!”.

Tapi maaf, ini bukan sikap, melainkan sebuah pilihan. Ini juga bukan bisikan, tapi ini adalah cerita rakyat.

Rasanya aku seperti berjalan dalam lorong gelap yang berujung pada belokan buntu.

“Oh, tidak, bukan hanya belokan ini saja, tapi belokan itu dan yang di sana, itu juga sama, buntu.”, suara dalam kepalaku kembali meluruskan.

Setiap hari para pelacur menjajakan diri dipinggir jalan, menjanjikan terpuaskannya hasrat para hidung belang. Berbagai dandanan mereka kenakan, mulai dari yang sederhana hingga yang wajah aslinya tak terlihat lagi, mulai dari yang muda hingga yang sudah berumur, dari yang kurus, sintal hingga yang gemuk tak berbentuk. Kendaraan yang kulihat melintas seakan bagai tongkat dalam perlombaan lari marathon yang berpindah dari satu tangan ke tangan lain, begitu pula, berpindah dari yang tua ke yang muda, dari yang gemuk ke yang sintal.

Tunggu dulu. Dari kejauhan terdengar raungan sirene polisi moral. Jalanan yang remang itu sekejap menjadi semakin riuh.

”Brak, bruk, prak, prok, plak, plak, prak, prok, bruk.”

Beberapa jatuh dan tertangkap, sedangkan puluhan langkah seribu menggema.

“Haha, sungguh sial mereka! Mereka itu manusia-manusia sial! Sial karena menjadi pelacur, sial karena menjadi polisi moral, sial karena mereka hidup dalam jaman yang sungguh-sungguh membuat mereka sial. Sial mereka karena mengutuk kesialan masing-masing, sedangkan mereka masih akan jauh lebih sial lagi jika belum juga sadar kalau ternyata mereka sama-sama sial.”, suara-suara dalam kepalaku berbisik tak karuan.

Ya. Malam ini udara dingin dan nyamuk berlomba membelai tubuhku yang kering kerontang. Lalu aku berfikir dan bergumam dalam hati,

“Lebih baik mengalami amnesia daripada harus kehilangan kewarasan!”.

Dari Krisis Kebebasan: Kembali Merenungkan Gilotin

|
(Saat Sedang Meradang, Kamis 26 Maret 2009. 20.45- 23.00)

Lama saya berpikir untuk membuat tulisan berikutnya. Kali ini saya mengajak kawan-kawan di layar komputer yang sedang mengakses dunia maya di seberang sana untuk berbagai sedikit kewarasan atau mungkin kegilaan. Sayapun masih ragu mengenai hal itu, segalanya nyaris terlihat absurd dan semakin tidak nyata di tengah riuhnya kehidupan masyarakat industri ini yang menyebut teknologi sebagai tuhan dan suatu keharusan. Tulisan ini saya buat beberapa waktu dengan tergesa-gesa setelah saya membaca sekilas karya-karya Albert Camus yang menurut saya sangat luar biasa pemikirannya, walaupun saya belum sempat membaca kritikan dari Sartre, teman sekaligus musuh penalarannya. Berikut adalah penjabaran tulisannya dengan versi saya dari salah satu sub judul tulisannya yaitu “Merenungkan Gilotin” dalam buku Krisis Kebebasan, beberapa kalimat saya kutip langsung sebagai pemikiran pokoknya. Di mana pada saat hidupnya banyak aksi pemancangan bagi pelaku kejahatan di masanya dan eksekusi dilakukan di hadapan orang banyak sebagai peringatan. Tapi justru di situ muncul sebuah logika terbalik dimana sikap tersebut menciptakan kritiknya sendiri. Hingga justru banyak orang yang memikirkan kembali arti sebuah nyawa.

Walaupun aksi hukum pancung sudah mulai pudar, namun pada masa sekarang dengan refleksi yang terlihat dalam segala bentuk kekuasaan khususnya di dalam negeri kita sendiri rasanya kita masih harus merenungkan gilotin yang hadir dalam wujudnya yang baru, yaitu otoritarian penguasa melalui aparat yang semakin menyegat rakyat dengan dalih untuk ketertiban umum maupun menjaga stabilitas. Rakyat yang memberi mereka pekerjaan dan gaji dari pajak yang mereka bayarkan malah harus menjadi “hamba” atas “budak”nya.

Berkenalan dengan pikiran Albert Camus mengajarkan kita humanisme, nihilisme dan absurditas, perlahan kita di biarkan merenungkan sendiri karyanya, karena beliau juga mengakui bahwa karyanya bukan sesuatu yang tanpa cela. Cukup relevan ditengah masyarakat kita saat ini.

Mari kita mulai.

Ketika daya pikir menjadi lemah, kata-kata akan menjadi tanpa makna: Sekelompok manusia akan buta dan tuli saja terhadap nasib seorang manusia. Ya, ini adalah wajah yang Camus tuliskan sekitar 30 atau 40 tahun lalu, tapi masih akan tetap menjadi perbincangan hangat dan tiada henti hingga saat ini. Dulu aksi pancung di Prancis dilakukan di hadapan orang banyak agar mereka menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Ayahnya pernah pada suatu waktu sangat bersemangat bangun pagi-pagi sekali untuk melihat eksekusi seorang penjahat yang terkenal. Kemudian, saat siang hari ayahnya pulang dengan wajah pucat dan langsung merebahkan diri di kamarnya, merenungkan apa yang baru dia saksikan, tak lama kemudian beliau muntah. Mereka yang menonton eksekusi umumnya sangat membenci kejahatan dan penjahat itu sendiri, mereka tidak berpikir panjang untuk memahami situasi karena mereka menganggap bahwa “keadilan sedang ditegakkan”. Keadilan justru telah menjadi tiran saat mereka merasa memiliki hak dan logikanya sendiri untuk menghabisi nyawa seseorang. Bahkan hukum yang menjadi sumber penjatuhan sanksi adalah bagaikan seorang raja yang menang dalam peperangan, hingga merasa berhak menjarah harta, memperkosa dan menjadikan kaum yang kalah perang sebagai budak.

Selama banyak diantara kita membiarkan daya pikirnya terkikis oleh hipnotis kemegahan dunia, gemerlap malam, riuh persaingan bisnis, sibuk berebut kuasa, menangkap segala realitas layar kaca sinetron hingga reality show maka kita telah membiarkan kebususkan terus bergelora. Kini kita sedang melihat gilotin yang telah mewujud dalam sesuatu yang baru, sesuatu yang sering kita temui, sesuatu yang terlahir dari ketimpangan logika anak kembar peradaban, kiri dan kanan, revisonis dan revolusionis. Kapitalisme semakin membuat dunia menjadi kelam, manusia menjadi robot, anak cucu kita kelak menjadi mutan. Penggusuran. Dunia semakin sempit dan nyaris tidak ada ruang yang ada tanpa proses transaksi. Tanah bersertifikat, air dengan pajak, sakit dan mati dengan asuransi, terkubur dengan pajak pula. Dunia adalah etalase yang semakin angkuh. Miskin adalah dosa besar, hingga dunia menjadi neraka. Sedangkan surga masih merupakan pertanyaan.

Hukuman mati menjatuhkan martabat masyarakat sementara para pendukungnya tidak mampu memberi alasan yang masuk akal. Ya, banyak aksi eksekusi di dalam negeri ini dalam berita televisi. Para algojonya bertindak bagaikan robot tanpa mau tahu urusan orang lain, mereka menjadi tuhan, tuhan yang berada di bawah komando kekuasaan.

Bagaimana bisa suatu pembunuhan yang dilakukan diam-diam pada suatu malam di halaman penjara dapat di sebut memiliki nilai sebagai contoh? Pertanyaan ini muncul setelah pada awal abad 20 terjadi eksekusi yang mengundang wartawan untuk meliput dan kalau tidak salah juga ditayangkan di televisi yaitu eksekusi Weidmann tahun 1939 di Versailles, Prancis. Kemudian muncul kontroversi hingga ada larangan untuk melakukan eksekusi di depan masyarakat umum. Beberapa waktu lalu negara kita melakukan eksekusi terhadap para teroris Amrozi Cs di Nusa Kambangan. Nilai apa yang kita dapat? Sedangkan katanya hukum dan segala tetekbengeknya di buat agar masyarakat memiliki nilai pedoman yang sama dan hidup teratur agar tidak melakukan aksi yang jahat atau menyimpang dari norma, nilai dan dogma. Dengan demikian hukum dan keadilan malah bersembunyi dari masyarakatnya sendiri. Saya bukan membela terorisme, tetapi saya hanya mencoba memaknai kematian yang katanya bisa menjadi contoh. Hukum memang sudah ditegakkan. Tapi keadilan masih bisa kita perdebatkan. Siapa yang memiliki hak dan kuasa atas satu nyawa?

Pada tahun 1791 Tuaut de le Bouverie, seorang anggota dewan di Prancis berkata, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat dapat dikuasai”. Sebuah propaganda yang luar biasa. Sebelumnya kita harus bertanya pada diri sendiri. Apakah anda setuju dengan pembunuhan? Jika jawabannya tidak, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah orang yang telah membunuh keluarga anda harus di hukum mati? Anggap saja jawabannya setuju. Pertanyaan terakhir: Apakah hukum harus di tegakkan? Tentu iya, tapi keadilan masih akan menimbulkan perdebatan. Apa bedanya membunuh atas dasar logika hukum dengan membunuh atas dasar emosi dan dendam? Mari berpikir!!! Kita bisa saja tidak suka tindak pembunuhan, tapi mungkin kita akan membunuh di saat kita sedang terjepit. Hal ini dikatakan absurd oleh Camus, maka saya simpulkan realitas itu subyektif, tidak mungkin obyektif, apalagi keadilan?

Daripada secara samar mengingatkan masyarakat akan seseorang yang membayar hutangnya pagi tadi jam 5, bukanlah lebih efektif mengingatkan para pembayar pajak (masyarakat) itu secara rinci apa yang akan terjadi bila mereka melanggar hukum yang sama? Daripada hanya ditulis, “Jika kau membunuh, kau akan menerima balasan di tiang gantungan”. Banyak kejadian penggusuran di negeri ini yang berakhir bentrok, pada pedagang kaki lima mengaku sudang membayar pajak dan kadang pungli, tapi lapaknya tetap digaruk. Aparat selalu mengatakan bahwa mereka telah memberi surat peringatan. Dari kesaksian seorang PKL di TV One baru-baru ini, dia mengatakan sangat kecewa pada anggota dewan yang katanya akan berada di garis depan bila terjadi penggurusan, tapi anggota dewan itu mangkir.

Banyak orang terhormat sebenarnya adalah calon pembunuh. Kalimat Camus ini didasarkan pada sifat kekuasaan yang cenderung dekat dengan korupsi. Untuk menjaga nama baiknya, penguasa ataupun orang terhormat bisa saja melakukan pembunuan. Dalam negeri ini lihat saja kasus pembunuhan Munir yang seakan tak pernah usai. Dan pembunuhkan terhadap Bambang (kalau tidak salah), saksi kunci yang membongkar transaksi benda cagar budaya di salah satu museum nasional. Serta serangkaian fakta lain yang bisa kita pelajari dari sejarah.

Fresnes seorang terhukum mati berkata, “Tahu bahwa kita akan mati tidak ada artinya”, “Tapi tidak tahu apakah kita akan hidup atau mati, benar-benar terror dan menyesakkan dada”. Terlihat jelas bahwa hukuman mati sangat tidak manusiawi, apa lagi hukuman mati hanyalah pembunuhan yang dilegalkan. Hukum hanya bagian dari legitimasi pembunuhan. Masalahnya terlepas pada apa yang perjahat itu lakukan, tapi bagaimana bila legitimasi pembunuhan terjadi pada diri dan nyawa kita?

Menyatakan bahwa seseorang harus mutlak memutuskan hubungannya dengan masyarakat karena dia jahat sama artinya dengan mengatakan bahwa masyarakat secara mutlak baik, dan tidak seorangpun pada saat ini yang berpikiran waras percaya akan hal itu. Dalam hal ini terciptalah penjara sebagai tempat bagi para “pesakitan”, dikucilkan dari masyarakatnya. Penjara dianggap bisa menyelesaikan masalah. Kita lihat Guantanamo di Havana, penjara tertutup yang tidak diketahui kegiatannya. Masyarakat kita ini benar-benar sedang sakit jiwa, merasa dirinya paling benar. Contohnya lihat saja golongan-golongan yang ada, ormas, halal dan haram, musyrik dan kafir. Orang yang percaya suara tuhan akan menyebut kafir mereka yang tidak mendengarnya. Pramoedya Ananta Toer di buang ke pulau Buru karena tulisannya yang sangat realis dan tuduhan Komunis karena menjadi tokoh LEKRA di bawah komado PKI, walaupun LEKRA tidak diintrvensi PKI. Hingga saya lebih suka menyebut diri pengidap skizoprenia, dan memang lebih baik mengalami amnesia daripada harus kehilangan kewarasan. Mungkin kita bisa lupa, tapi kita tetap akan selalu berpikir.

Camus mengutip perkataan Alphonse Karr: “Biarlah pembunuhan mulia segera dilakukan, karena ia tidak bermakna apa-apa lagi”. Ya. Pembunuhan mulia. Pembunuhan yang sah menurut logika hukum dan hak seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang keadilan telah menghilangkan arti nyawa dan arti keberadaan manusia. Kalimat ini saya nilai merupakan ungkapan kecewa dan keputusasaan ketika hukum yang mengatasnamakan keadilan telah mereduksi keberadaan manusianya sendiri.

Dalam hubungannya dengan kejahatan, bagaimana mendefinisikan peradaban kita ini? Jawabannya sederhana: sudah 30 tahun ini (pada masa sekarang mungkin tebih dari 80 tahun sejak masa Camus) kejahatan penguasa lebih banyak daripada kejahatan individual. Yang terpenting bukanlah penguasa tetapi Indivudual. Bagiamana bisa penguasa berkata pertumbuhan ekonomi negara kita sudah lebih baik, sedangkan PHK marak terjadi, kemiskinan merebak. Lebih jahatnya lagi, di masa menjelang pemilu ini banyak uang penguasa yang keluar untuk membuat promosi dan tim sukses, padahal uang mereka sangat berguna bila digunakan untuk memakmurkan orang kecil di sekitar mereka. Mungkin penguasa kita lebih suka memulai sesuatu dari yang besar, daripada memulai sesuatu dari hal kecil.

Di Jepang pejabatnya kerap melakukan bunuh diri jika terlibat korupsi, hal ini Bukan sekedar bunuh diri biasa. Tapi dalam tradisi samurai, mereka akan merasa terhormat dengan mati bunuh diri sebagai bentuk tanggungjawab moralnya bukan karena rasa malu.

“Pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi berguna”. Seorang pembunuh berantai mungkin dalam masyarakat kita pantas dihukum mati, karena dinilai tidak sesuai dengan kebiasaan yang tertanam dalam masyarakat itu sendiri. Tapi dengan membunuh sang pembunuh kita tidak sedang menegakkan keadilan tetapi kita sedang melakukan pembunuhan lainnya. Pembunuhan dengan legitimasi.

Manusia menjadi tidak berguna saat hukum telah dianggap sempurna. Sebuah wacana anti otoritarian yang cukup komprehensif di tengah kehidupan yang tergambar dalam sepenggal lirik Homicide, “Ditengah hidup yang menyerupai rutan yang kehilangan sipir, mengepal jemari hari ini sesulit membongkar jaringan pembunuh Munir”. Sadar atau tidak kita sedang merakit neraka bagi diri kita sendiri.

Dan sungguh benar bila tulisan saya ini masih jauh dari sempurna.