Sore Di Selatan Berbisik

|

Jakarta sore itu terlihat murung. Langit selatan tampak kelabu. Hari ini seakan kembali menghanyutkan jiwaku untuk terbangun dari lelap mimpi indah selama satu bulan belakangan. Di peron Stasiun UI aku menunggu kereta menuju Bogor bersama kedua temanku yang sibuk berdiskusi, sedangkan aku sibuk membuka lembar demi lembar buku “Pengakuan”, bukan suatu kebetulan saat lewat di salah satu toko buku di samping stasiun UI aku menemukan buku kumpulan cerita pendek Anton Chekov seorang cerpenis dari Rusia yang karyanya dinilai fenomenal oleh beberapa orang.

”Tik.. tik... tik...” Perlahan hujan menitik. Gerimis. Di peron menuju Jakarta terlihat sekumpulan mahasiswi menertawakanku, mereka memandang aneh. Tidak ada salahnya bila kita membuang sampah pada tempatnya, walaupun sampah itu kecil dan tempat sampah berada sekitar limabelas langkah saja.

”Jalur satu dari utara akan segera masuk KRL Ekonomi AC tujuan akhir Bogor dengan harga karcis Rp. 5.500, sedangkan KRL Ekonomi Biasa tujuan akhir Bogor berangkat Juanda karena mengalami gangguan.”.

Pengeras suara menyampaikan informasi dari petugas stasiun. Terlihat wajah-wajah kecewa, tetapi ada beberapa yang menukarkan tiketnya dengan tiket Ekonomi AC.

Kereta yang akan ku tumpangi pun datang. Perlahan melaju, melaju dan meninggalkan stasiun, menuju perhentian-perhentian berikutnya. Penumpang naik dan turun, turun dan naik di stasiun berikutnya. Aku memandangi langit dari kaca jendela kereta, ya, kereta ini berjalan sangat cepat, sama cepatnya dengan perkembangan zaman sekarang ini. Aku melihat rumah-rumah berdesakan, banyak lingkungan kumuh di pinggir rel.

”Brak!”

“Astagfirullah”. Nyaris seluruh penumpang di gerbong terperanjat.

Ternyata sebuah lemparan batu mengenai gerbong kereta, kejadian yang lumrah.

”Aku melihatnya. Ya, aku melihatnya.”

Anak-anak itu tertawa bahagia melempari gerbong, kadang dengan batu, tanah dan bahkan temanku pernah tersiram air comberan.

”Tapi sudahlah, lupakan saja!!”, aku bergumam dalam hati.

Lelah rasanya menatap langit yang katanya tak berujung itu. Untuk membunuh penat aku melanjutkan membaca buku, sambil mengingat kejadian kecil di stasiun tadi.

“Haha…” aku tertawa dalam hati.

Pada malam harinya aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar mendedikasikan sedikit waktu menulis catatan kecil realitas bagi anak kecil yang tadi sore menyanyikan lagu ceria dengan botol plastic berisi beras sebagai alat musik.

Bersama nyanyian itu dia membagikan amplop kepada beberapa orang di barisan kursi peron yang berisi alasan dia mengamen. Ya, dia mengamen untuk biaya sekolah dan sekedar untuk membantu orang tuanya. Sekelebat lalu aku teringat sepenggal bait lagu Iwan Fals,

“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu!”.

Dalam sebuah pandangan lain, beberapa orang mungkin menganggap orang tua anak kecil itu mengeksploitasi jiwa yang masih polos dan lugu. Tetapi itu adalah wajah carut-marut kehidupan kita dengan kemiskinan sebagai topeng yang mereka kenakan.

“Oh, bukan, bukan, tapi bukan itu, bukan kemiskinan yang mereka gunakan sebagai topeng, tapi kemiskinan menggunakan mereka sebagai topeng.”, suara dalam kepalaku berusaha meluruskan.

Sayangnya, hanya sedikit yang masih bisa melihat makna balik topeng itu.

Hmmm… Beberapa minggu lalu aku berkirim surat lewat alam maya dengan seorang wanita yang seumuran dengan ku, dia adalah salah satu calon anggota wakil rakyat di daerah, sebut saja daerah “antah berantah”.

“Mengapa kau mau menjadi wakil rakyat?”, tanyaku.

“Ya karena aku ingin mengetahui cara kerja wakil rakyat, dan semoga kalau terpilih aku bisa membantu orang banyak dan menyuarakan harapan mereka!”, balasnya kemudian.

Sebuah jawaban yang amat klise menurutku.

Saat ini mungkin memang segala sesuatu sudah dinilai hanya berdasarkan keuntungan, kekuasaan, pamrih, dan segala macam jenis perhitungan lainnya. Bahkan untuk menolong orang susah saja banyak yang merasa harus menjadi orang kaya terlebih dahulu. Bicara tentang kesejahteraan, bagaimana mungkin bisa terwujud jika mentalitas yang ada tersusun dari uang recehan.

Temanku berkata dalam lirik lagunya,

”Bicara tentang perubahan, tapi kontribusi apa yang sudah kau lakukan untuk hidupmu sendiri kawan?”.

Jika saja puluhan raja-raja itu bersedia mengeluarkan seluruh pundi-pundi emas dan mengikhlaskan upeti yang mereka dapatkan, tentunya sudah tidak diperlukan lagi kata “kemiskinan” dalam setiap bahasa di dunia, dan kemudian kata “kesejahteraan” menjadi absurd ditengah kesetaraan. Hingga tak ada lagi budak yang menghamba pada tuan tanah. Tapi nyatanya, masih banyak tuan tanah yang takut akan kehilangan harta, padahal dalam hati kecil mereka terkadang merasa iba saat melihat hamba-hamba lain yang menanti iba di pinggir jalan.

Sungguh dunia yang membingungkan.

Ini hanya bagian kecil dari apa yang aku diskusikan bersama beberapa sahabat, hal demikian adalah sesuatu yang lucu, kehidupan ini memang merupakan sebuah panggung parody dimana setiap pelakon memainkan peran sebagai orang yang mengutamakan kedigdayaan sebagai raja atas dunia dan seisinya, sehingga seakan-akan orang yang tak berdaya hanya diperlakukan sebagai penikmat sisa-sisa kemakmuran.

“Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, Chairil Anwar berteriak dalam karyanya.

Demikian pula teriakan dalam hati kecilku,

“Aku ingin hidup seribu tahun lagi, agar aku dapat melihat sampai kapan kebodohan ini menjejali otak mereka!”.

Tapi maaf, ini bukan sikap, melainkan sebuah pilihan. Ini juga bukan bisikan, tapi ini adalah cerita rakyat.

Rasanya aku seperti berjalan dalam lorong gelap yang berujung pada belokan buntu.

“Oh, tidak, bukan hanya belokan ini saja, tapi belokan itu dan yang di sana, itu juga sama, buntu.”, suara dalam kepalaku kembali meluruskan.

Setiap hari para pelacur menjajakan diri dipinggir jalan, menjanjikan terpuaskannya hasrat para hidung belang. Berbagai dandanan mereka kenakan, mulai dari yang sederhana hingga yang wajah aslinya tak terlihat lagi, mulai dari yang muda hingga yang sudah berumur, dari yang kurus, sintal hingga yang gemuk tak berbentuk. Kendaraan yang kulihat melintas seakan bagai tongkat dalam perlombaan lari marathon yang berpindah dari satu tangan ke tangan lain, begitu pula, berpindah dari yang tua ke yang muda, dari yang gemuk ke yang sintal.

Tunggu dulu. Dari kejauhan terdengar raungan sirene polisi moral. Jalanan yang remang itu sekejap menjadi semakin riuh.

”Brak, bruk, prak, prok, plak, plak, prak, prok, bruk.”

Beberapa jatuh dan tertangkap, sedangkan puluhan langkah seribu menggema.

“Haha, sungguh sial mereka! Mereka itu manusia-manusia sial! Sial karena menjadi pelacur, sial karena menjadi polisi moral, sial karena mereka hidup dalam jaman yang sungguh-sungguh membuat mereka sial. Sial mereka karena mengutuk kesialan masing-masing, sedangkan mereka masih akan jauh lebih sial lagi jika belum juga sadar kalau ternyata mereka sama-sama sial.”, suara-suara dalam kepalaku berbisik tak karuan.

Ya. Malam ini udara dingin dan nyamuk berlomba membelai tubuhku yang kering kerontang. Lalu aku berfikir dan bergumam dalam hati,

“Lebih baik mengalami amnesia daripada harus kehilangan kewarasan!”.

0 komentar: