Dari Krisis Kebebasan: Kembali Merenungkan Gilotin

|
(Saat Sedang Meradang, Kamis 26 Maret 2009. 20.45- 23.00)

Lama saya berpikir untuk membuat tulisan berikutnya. Kali ini saya mengajak kawan-kawan di layar komputer yang sedang mengakses dunia maya di seberang sana untuk berbagai sedikit kewarasan atau mungkin kegilaan. Sayapun masih ragu mengenai hal itu, segalanya nyaris terlihat absurd dan semakin tidak nyata di tengah riuhnya kehidupan masyarakat industri ini yang menyebut teknologi sebagai tuhan dan suatu keharusan. Tulisan ini saya buat beberapa waktu dengan tergesa-gesa setelah saya membaca sekilas karya-karya Albert Camus yang menurut saya sangat luar biasa pemikirannya, walaupun saya belum sempat membaca kritikan dari Sartre, teman sekaligus musuh penalarannya. Berikut adalah penjabaran tulisannya dengan versi saya dari salah satu sub judul tulisannya yaitu “Merenungkan Gilotin” dalam buku Krisis Kebebasan, beberapa kalimat saya kutip langsung sebagai pemikiran pokoknya. Di mana pada saat hidupnya banyak aksi pemancangan bagi pelaku kejahatan di masanya dan eksekusi dilakukan di hadapan orang banyak sebagai peringatan. Tapi justru di situ muncul sebuah logika terbalik dimana sikap tersebut menciptakan kritiknya sendiri. Hingga justru banyak orang yang memikirkan kembali arti sebuah nyawa.

Walaupun aksi hukum pancung sudah mulai pudar, namun pada masa sekarang dengan refleksi yang terlihat dalam segala bentuk kekuasaan khususnya di dalam negeri kita sendiri rasanya kita masih harus merenungkan gilotin yang hadir dalam wujudnya yang baru, yaitu otoritarian penguasa melalui aparat yang semakin menyegat rakyat dengan dalih untuk ketertiban umum maupun menjaga stabilitas. Rakyat yang memberi mereka pekerjaan dan gaji dari pajak yang mereka bayarkan malah harus menjadi “hamba” atas “budak”nya.

Berkenalan dengan pikiran Albert Camus mengajarkan kita humanisme, nihilisme dan absurditas, perlahan kita di biarkan merenungkan sendiri karyanya, karena beliau juga mengakui bahwa karyanya bukan sesuatu yang tanpa cela. Cukup relevan ditengah masyarakat kita saat ini.

Mari kita mulai.

Ketika daya pikir menjadi lemah, kata-kata akan menjadi tanpa makna: Sekelompok manusia akan buta dan tuli saja terhadap nasib seorang manusia. Ya, ini adalah wajah yang Camus tuliskan sekitar 30 atau 40 tahun lalu, tapi masih akan tetap menjadi perbincangan hangat dan tiada henti hingga saat ini. Dulu aksi pancung di Prancis dilakukan di hadapan orang banyak agar mereka menjadi takut untuk melakukan kejahatan. Ayahnya pernah pada suatu waktu sangat bersemangat bangun pagi-pagi sekali untuk melihat eksekusi seorang penjahat yang terkenal. Kemudian, saat siang hari ayahnya pulang dengan wajah pucat dan langsung merebahkan diri di kamarnya, merenungkan apa yang baru dia saksikan, tak lama kemudian beliau muntah. Mereka yang menonton eksekusi umumnya sangat membenci kejahatan dan penjahat itu sendiri, mereka tidak berpikir panjang untuk memahami situasi karena mereka menganggap bahwa “keadilan sedang ditegakkan”. Keadilan justru telah menjadi tiran saat mereka merasa memiliki hak dan logikanya sendiri untuk menghabisi nyawa seseorang. Bahkan hukum yang menjadi sumber penjatuhan sanksi adalah bagaikan seorang raja yang menang dalam peperangan, hingga merasa berhak menjarah harta, memperkosa dan menjadikan kaum yang kalah perang sebagai budak.

Selama banyak diantara kita membiarkan daya pikirnya terkikis oleh hipnotis kemegahan dunia, gemerlap malam, riuh persaingan bisnis, sibuk berebut kuasa, menangkap segala realitas layar kaca sinetron hingga reality show maka kita telah membiarkan kebususkan terus bergelora. Kini kita sedang melihat gilotin yang telah mewujud dalam sesuatu yang baru, sesuatu yang sering kita temui, sesuatu yang terlahir dari ketimpangan logika anak kembar peradaban, kiri dan kanan, revisonis dan revolusionis. Kapitalisme semakin membuat dunia menjadi kelam, manusia menjadi robot, anak cucu kita kelak menjadi mutan. Penggusuran. Dunia semakin sempit dan nyaris tidak ada ruang yang ada tanpa proses transaksi. Tanah bersertifikat, air dengan pajak, sakit dan mati dengan asuransi, terkubur dengan pajak pula. Dunia adalah etalase yang semakin angkuh. Miskin adalah dosa besar, hingga dunia menjadi neraka. Sedangkan surga masih merupakan pertanyaan.

Hukuman mati menjatuhkan martabat masyarakat sementara para pendukungnya tidak mampu memberi alasan yang masuk akal. Ya, banyak aksi eksekusi di dalam negeri ini dalam berita televisi. Para algojonya bertindak bagaikan robot tanpa mau tahu urusan orang lain, mereka menjadi tuhan, tuhan yang berada di bawah komando kekuasaan.

Bagaimana bisa suatu pembunuhan yang dilakukan diam-diam pada suatu malam di halaman penjara dapat di sebut memiliki nilai sebagai contoh? Pertanyaan ini muncul setelah pada awal abad 20 terjadi eksekusi yang mengundang wartawan untuk meliput dan kalau tidak salah juga ditayangkan di televisi yaitu eksekusi Weidmann tahun 1939 di Versailles, Prancis. Kemudian muncul kontroversi hingga ada larangan untuk melakukan eksekusi di depan masyarakat umum. Beberapa waktu lalu negara kita melakukan eksekusi terhadap para teroris Amrozi Cs di Nusa Kambangan. Nilai apa yang kita dapat? Sedangkan katanya hukum dan segala tetekbengeknya di buat agar masyarakat memiliki nilai pedoman yang sama dan hidup teratur agar tidak melakukan aksi yang jahat atau menyimpang dari norma, nilai dan dogma. Dengan demikian hukum dan keadilan malah bersembunyi dari masyarakatnya sendiri. Saya bukan membela terorisme, tetapi saya hanya mencoba memaknai kematian yang katanya bisa menjadi contoh. Hukum memang sudah ditegakkan. Tapi keadilan masih bisa kita perdebatkan. Siapa yang memiliki hak dan kuasa atas satu nyawa?

Pada tahun 1791 Tuaut de le Bouverie, seorang anggota dewan di Prancis berkata, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat dapat dikuasai”. Sebuah propaganda yang luar biasa. Sebelumnya kita harus bertanya pada diri sendiri. Apakah anda setuju dengan pembunuhan? Jika jawabannya tidak, maka pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah orang yang telah membunuh keluarga anda harus di hukum mati? Anggap saja jawabannya setuju. Pertanyaan terakhir: Apakah hukum harus di tegakkan? Tentu iya, tapi keadilan masih akan menimbulkan perdebatan. Apa bedanya membunuh atas dasar logika hukum dengan membunuh atas dasar emosi dan dendam? Mari berpikir!!! Kita bisa saja tidak suka tindak pembunuhan, tapi mungkin kita akan membunuh di saat kita sedang terjepit. Hal ini dikatakan absurd oleh Camus, maka saya simpulkan realitas itu subyektif, tidak mungkin obyektif, apalagi keadilan?

Daripada secara samar mengingatkan masyarakat akan seseorang yang membayar hutangnya pagi tadi jam 5, bukanlah lebih efektif mengingatkan para pembayar pajak (masyarakat) itu secara rinci apa yang akan terjadi bila mereka melanggar hukum yang sama? Daripada hanya ditulis, “Jika kau membunuh, kau akan menerima balasan di tiang gantungan”. Banyak kejadian penggusuran di negeri ini yang berakhir bentrok, pada pedagang kaki lima mengaku sudang membayar pajak dan kadang pungli, tapi lapaknya tetap digaruk. Aparat selalu mengatakan bahwa mereka telah memberi surat peringatan. Dari kesaksian seorang PKL di TV One baru-baru ini, dia mengatakan sangat kecewa pada anggota dewan yang katanya akan berada di garis depan bila terjadi penggurusan, tapi anggota dewan itu mangkir.

Banyak orang terhormat sebenarnya adalah calon pembunuh. Kalimat Camus ini didasarkan pada sifat kekuasaan yang cenderung dekat dengan korupsi. Untuk menjaga nama baiknya, penguasa ataupun orang terhormat bisa saja melakukan pembunuan. Dalam negeri ini lihat saja kasus pembunuhan Munir yang seakan tak pernah usai. Dan pembunuhkan terhadap Bambang (kalau tidak salah), saksi kunci yang membongkar transaksi benda cagar budaya di salah satu museum nasional. Serta serangkaian fakta lain yang bisa kita pelajari dari sejarah.

Fresnes seorang terhukum mati berkata, “Tahu bahwa kita akan mati tidak ada artinya”, “Tapi tidak tahu apakah kita akan hidup atau mati, benar-benar terror dan menyesakkan dada”. Terlihat jelas bahwa hukuman mati sangat tidak manusiawi, apa lagi hukuman mati hanyalah pembunuhan yang dilegalkan. Hukum hanya bagian dari legitimasi pembunuhan. Masalahnya terlepas pada apa yang perjahat itu lakukan, tapi bagaimana bila legitimasi pembunuhan terjadi pada diri dan nyawa kita?

Menyatakan bahwa seseorang harus mutlak memutuskan hubungannya dengan masyarakat karena dia jahat sama artinya dengan mengatakan bahwa masyarakat secara mutlak baik, dan tidak seorangpun pada saat ini yang berpikiran waras percaya akan hal itu. Dalam hal ini terciptalah penjara sebagai tempat bagi para “pesakitan”, dikucilkan dari masyarakatnya. Penjara dianggap bisa menyelesaikan masalah. Kita lihat Guantanamo di Havana, penjara tertutup yang tidak diketahui kegiatannya. Masyarakat kita ini benar-benar sedang sakit jiwa, merasa dirinya paling benar. Contohnya lihat saja golongan-golongan yang ada, ormas, halal dan haram, musyrik dan kafir. Orang yang percaya suara tuhan akan menyebut kafir mereka yang tidak mendengarnya. Pramoedya Ananta Toer di buang ke pulau Buru karena tulisannya yang sangat realis dan tuduhan Komunis karena menjadi tokoh LEKRA di bawah komado PKI, walaupun LEKRA tidak diintrvensi PKI. Hingga saya lebih suka menyebut diri pengidap skizoprenia, dan memang lebih baik mengalami amnesia daripada harus kehilangan kewarasan. Mungkin kita bisa lupa, tapi kita tetap akan selalu berpikir.

Camus mengutip perkataan Alphonse Karr: “Biarlah pembunuhan mulia segera dilakukan, karena ia tidak bermakna apa-apa lagi”. Ya. Pembunuhan mulia. Pembunuhan yang sah menurut logika hukum dan hak seseorang untuk mengatakan sesuatu tentang keadilan telah menghilangkan arti nyawa dan arti keberadaan manusia. Kalimat ini saya nilai merupakan ungkapan kecewa dan keputusasaan ketika hukum yang mengatasnamakan keadilan telah mereduksi keberadaan manusianya sendiri.

Dalam hubungannya dengan kejahatan, bagaimana mendefinisikan peradaban kita ini? Jawabannya sederhana: sudah 30 tahun ini (pada masa sekarang mungkin tebih dari 80 tahun sejak masa Camus) kejahatan penguasa lebih banyak daripada kejahatan individual. Yang terpenting bukanlah penguasa tetapi Indivudual. Bagiamana bisa penguasa berkata pertumbuhan ekonomi negara kita sudah lebih baik, sedangkan PHK marak terjadi, kemiskinan merebak. Lebih jahatnya lagi, di masa menjelang pemilu ini banyak uang penguasa yang keluar untuk membuat promosi dan tim sukses, padahal uang mereka sangat berguna bila digunakan untuk memakmurkan orang kecil di sekitar mereka. Mungkin penguasa kita lebih suka memulai sesuatu dari yang besar, daripada memulai sesuatu dari hal kecil.

Di Jepang pejabatnya kerap melakukan bunuh diri jika terlibat korupsi, hal ini Bukan sekedar bunuh diri biasa. Tapi dalam tradisi samurai, mereka akan merasa terhormat dengan mati bunuh diri sebagai bentuk tanggungjawab moralnya bukan karena rasa malu.

“Pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi berguna”. Seorang pembunuh berantai mungkin dalam masyarakat kita pantas dihukum mati, karena dinilai tidak sesuai dengan kebiasaan yang tertanam dalam masyarakat itu sendiri. Tapi dengan membunuh sang pembunuh kita tidak sedang menegakkan keadilan tetapi kita sedang melakukan pembunuhan lainnya. Pembunuhan dengan legitimasi.

Manusia menjadi tidak berguna saat hukum telah dianggap sempurna. Sebuah wacana anti otoritarian yang cukup komprehensif di tengah kehidupan yang tergambar dalam sepenggal lirik Homicide, “Ditengah hidup yang menyerupai rutan yang kehilangan sipir, mengepal jemari hari ini sesulit membongkar jaringan pembunuh Munir”. Sadar atau tidak kita sedang merakit neraka bagi diri kita sendiri.

Dan sungguh benar bila tulisan saya ini masih jauh dari sempurna.

0 komentar: