Little Flower and The Goon Of Tribe!

|
Hoho. berhari~hari jiwaku ramai dengan vibrasi dalam dahaga bacotan Nyai Ontosoroh dan Pak Guru Belanda.

Persetan gaya politik. Persetan juga dengan romantisme.
Kamu teriakkan saja persetan dengan diriku.

Dia berseragam putih biru saat berkenalan. Ini bukan kisah cinta.
Ini hanya bentuk apresiasi pada adik kecil ku yang kini telah harum, wangi dan menjadi pujaan.
Ini bukan curhatan individu teralienasi. Oh. Aku sangat suka hidup terasing.

Dia banyak mengajari aku menjadi orang yang tetap percaya pada harapan.

Dulu lidahnya kelu dan bibirnya malu untuk mengumpat. Tapi bunga lili kecil itu kini telah jauh lebih pandai daripada aku si penjahat dari kaum despotic.
Aku pengidap neurosis, aku tantangan bagi diriku sendiri.
Obsesif kompulsif kalau orang bilang.

Kaumku dulu cukup besar dan sangat menyebalkan. Kini ego membunuh satu persatu.

Dia juga mengalami hal yang sama.

Senyumnya menghilang dari layar monitor dengan program Fruity Loops 3.

Abstrak. Aku suka kisah perjalanannya dan setiap antusiasme yang dia tunjukkan kala bercerita pengalaman dari kota ke kota.

Sejak pertama. Aku sudah menduga dia akan menjadi bunga yang cantik dan manis dalam kubangan pencaci, pengumpat dan fanatik misogini.
Aku percaya apa yang pernah kusampaikan padanya tidak terbuang percuma olehnya.

Hanya saja aku tidak bisa memastikannya untuk saat ini.
Entah dia akan berbelok kemana. Toh dia masih terlalu muda untuk berontak mungkin.

Demi Freud dan Simone de Beauvoir. Jangan jadikan dia santapan bagi para begundal pseudo~reality.
Demi 2pac dan Biggie Jangan biarkan dia terjebak dalam punchline dan rima berbau emas.
Dan wahai warna merah! Lindungi telinganya dari bisikan dajal bermata berlian.

Demi tarian tuhan dan para atheis. Jaga dia Dari siksa yang sengaja dan tidak sengaja aku tanam.

Dunia tanpa cermin Minggu, 11 oktober 2009 (21.44-22.41)

|
Saya bangun pagi tadi sekitar pukul 07.30. badan saya masih terasa pegal basket kamis lalu.

Ide ini sudah terkumpul sejak 2 hari yang lalu setelah mendengar lagu Sade-Bullet Proof Soul.mp3 ditambah pengaruh film CLOSER dan diskusi dengan Peri Kecil saya. Baru terealisasi sekarang ditengah kesibukan skripsi yang menggila.

Lagi-lagi saya merasa tulisan ini penting untuk dibaca/mungkin tidak juga.

Ada yang mengatakan kalau hidup ini seperti permainan catur. Setiap langkah harus dipikirkan dengan seksama dan hati-hati.

Baiklah. Cukup basa-basi di atas basa-basi.

Pernahkah kamu membayangkan sebuah kehidupan. Ya. Sebuah dunia tanpa cermin.

Kamu tidak tahu seperti apa wajah kamu. Dunia tanpa pantulan wajah. Air tanpa pantulan wajah. Narcissus tenggelam di danau akibat kekagumannya pada wajah sendiri.

Coba sekarang kamu berkaca. Atau kamui boleh lihat gaya andalan foto kamu di HP, folder foto di computer atau album foto jaman dahulu.
Nikmati metamorfosa wajah, mimic dan gesture yang kamu punya.

Saya bisa membayangkan dunia tanpa cermin.

Saya, kamu, kita: tidak tahu seperti apa wujud maupun wajah sendiri.
Saya, kamu, kita: hanya bias melihat wajah orang lain.
Lupakan ratu kecantikan dan pria idaman.
Lupakan gadis sampul dan iklan macho celana dalam pria.

Satu-satunya cara untuk melihat wajah kamu adalah dengan melihat focus, dalam, dan sangat dalam kedalam mata lawan bicara kamu.
Kamu akan tahu seburuk apa wajah kamu.

Lupakan selera. Tampan>Jelek, Cantik>Jelek.
Toh, kamu tidak bisa melihat wajah kamu sendiri.
Kamu akan lebih memperhatikan orang lain daripada diri sendiri.

Kamu akan merasa lebih merdeka. Seperti orang gila yang telanjang dipinggir jalan.
Ya. Kemerdekaan yang absolute hanya saya rasakan dalam kamar mandi.
TELANJANG. Saya tinggalkan semua atribut, pakaian, gengsi, hasrat, kehendak.
Hanya saya yang tahu apa yang terjadi di dalam situ.

Saya tidak bisa melihat hidung, pipi, dagu, alis, gigi, lidah, rambut, telinga dan bahkan mata saya sendiri. Kepala kalian saja yang saya lihat.
Kepala-kepala kalian berbeda bentuk, bervariasi. Seperti pelangi.

Saya berpikir, kalian juga pasti ingin tahu bentuk wajah kalian.
Maaf. Karena saya lancing dengan mudah bisa melihat wujud wajah kalian tanpa susah payah.
Maaf. Saya hanya bisa menceritakan wajah kalian kamu: pipi seperti si A, mulut seperti si B, mata si C, hidung si D.
Tapi tetap saja kamu tidak bisa membayangkannya, meskipun saya membuatkan lukisan atau sketsa wajah kamu. Beruntung bagi yang terlahir kembar. Kamu bisa melihat wajahmu dalam wajah kembaranmu.

Malam ini. Aku menceritakan dunia ini pada wanita yang ingin kupinjam hidupnya.
Lalu akau bertanya: “Siapa yang menuliskan sejarah? Yang menang atau yang kalah perang?”

Saat kamu memikirkan cinta. Itu hanya sebatas pikiran.
Cinta itu mesti dialami dan dihidupi, bukannya dipikirkan.

Kita sering meminjam waktu dari hidup orang. Bagi saya, setiap detik sangat berharga dalam hidup yang Cuma satu kali ini.
Saya tidak akan menghabiskan waktu dengan menabung. Saya tidak ingin membeli jaguar untuk liburan di Surga.

Saya melangkah tanpa tahu wajah saya sendiri. Tanpa pernah melihat wajah saya sendiri.
Tapi saya cukup bahagia dapat melihat kalian.
Tapi. Berikan saya sedikit waktu untuk ke kamar mandi.

Seorang gadis bercerita:
Dia berada di satu ruang kuliah. Bersama 99 mahasiswa/i. Seorang dosen lanjut usia bercerita didepan kelas tentang sebuah pelajaran berharga yang tidak bisa didapat dari ruang lainnya. Ruang itu begitu hening, membosankan, terang, terang dan terang. Rasanya semua ingin pergi ke toilet. Tapi ada sebuah daya magis, bandot tua itu menghipnotis hingga semua lekat di kursi masing-masing.
Gadis itu berpikir: “Lampu ruangan ini harus aku matikan supaya kejenuhan ini usai.”
Dia mematikan lampu.
Seisi kelas riuh, mengeluh. Pilihannya salah.
Dia mengira semua jenuh. Ya. Tapi mereka tidak lelah untuk menimba ilmu mata kuliah kehidupan.
Dia mengira. Dengan melihat wajah yang lainnya, ia bisa mewakilinya seperti sketsa.

Ya. Setiap hari adalah perang. Saya ingin selalu jadi pemenang. Maka saya mainkan peran dengan keras kepala. Terserah jika kalian punya pilihan lain.

Pernahkan terpikir? Setiap hari kita berfoya-foya! Bahkan tanpa uang sepeserpun. Nafas adalah harta.
Kita semua pernah lupa untuk bernafas. Tapi toh kita tetap hidup!!!
Oksigen masuk ke paru-paru, memompa jantung, memacu denyut nadi ke sekujur tubuh.
Hidup sangat layak untuk dijalani tanpa mengeluh. Walaupun saya masih suka mengeluh.

Terkadang saya merasa lelah membaca, karena semakin banyak saya membaca, ternyata semakin banyak hal yang tidak saya ketahui.
Apakah ilmu memiliki muara?
Seperti sisa hujan yang menyisakan pelangi.

Saya mengendap ke dalam jiwa-jiwa kalian hanya untuk mengatakan, “Sampai jumpa di dunia tanpa cermin.”

Saya ingin hidup merdeka di kamar mandi.
Tapi ruang itupun telah membatasi kemerdekaan saya.
Saya tidak memiliki kemerdekaan? Siapa yang memilikinya?
Oh, sungguh saya terkagum pada Albert Camus.

Jika cinta adalah senjata, maka manusia adalah martir.
Jika kejujuran hanya akan membuatmu punah, maka benar adanya bahwa kebohongan adalah mata uang dunia. Itu yang akan membuatmu kaya.
Tapi aku tidak ingin kaya. Aku hanya ingin menikmati hidup!!!

Mental Trip, Rock on!!!

Nb: di tulis di tengah kegalauan skripsi hehehe…

Seperempat Kebenaran. (Sebuah Percobaan ke Dua Merefleksi Pemikiran Albert Camus)

|
Seperempat Kebenaran
Minggu, 8 november 2009. (21.03-22.30).

“Tapi kita mungkin malah harus melawan kebohongan atas nama seperempat kebenaran”. Albert Camus.

Malam redup. Namun jiwaku sangat-sangat dan sunguh-sungguh terbakar dan bersemangat. Mungkin saja orang bisa jatuh cinta setiap saat, meskipun sebenarnya sekali saja cukup. Militansi dalam jiwa saya adalah sesuatu yang pasif dan laten, yang hanya muncul pada waktu-waktu senggang saja. Kebanyakan dalam keseharian walaupun beraktifitas super padat, jiwa saya tertidur. Mandul.

Saya lebih sibuk berpikir daripada berbuat. Pikiran saya jauh lebih luas dari perbuatan saya.

Berpikir sederhana tidak sama dengan berpikir pendek. Hidup terlalu singkat untuk membuang kesempatan pada satu jalan kebodohan yang tidak pernah kamu ketahui maknanya.

Siapa yang sungguh-sungguh suci untuk dapat menilai diri manusia lainnya? Kamu sekalian tidak pernah memiliki hak untuk itu.

Saya menghidupi zaman ini tidak seperti kawan-kawan sezaman saya menghidupi zaman ini. Terlalu banyak kekecewaan yang muncul setelah tumpukan buku-buku dan literature yang nyaris membusuk di sudut kamar membawa informasi dan angin segar bagi jiwa saya.

Entah apa gumpalan kertas itu membawa kebohongan atau hanya membawa seperempat kebenaran. Yang saya tahu saat ini saya memilih untuk menemukan kebahagiaan dan identitas diri yang beradaptasi, berasimilasi kemudia bermutasi menjadi makhluk pra-imitasi. Sekarang, saat skizoprenia kambuh, mulailah sedikit demi sedikit scopophilia menjangkiti pikiran.

Pseudo-reality. Oh, betapa serunya tayangan bertajuk “Reality Show”. Betapa memukaunya “Infotainment Gossip”. Setiap pagi, siang, sore dan malam menjejali pikiran.

Pada notes sebelum ini, saya menyatakan bahwa saya menemukan kemerdekaan di dalam kamar mandi. Saya bebas bertelanjang dan berbuat sesuka hati. Tapi hari ini saya berkata lain. Saya tidak pernah merasa menemukan kemerdekaan, apalagi kebebasanm dalam kamar mandi itu.

Kamar mandi dalam konteks ini bagi saya hanya menyajikan kemerdekaan semu. Selama ini saya salah dan telah membiarkan masyarakat yang gila ini tertawa di tanah lapang, sedangkan saya menyalurkan “kebebasan” hanya dalam petak-petak kamar mandi yang saya temui.

Seperempat kebenaran. Kurang dari satu, kurang dari setengah.

Saya nyaris selalu gagal menemukan kewarasan. Tapi toh saya telah memilih secara laten dan tidak terdefinisi apa yang saya perjuangkan (dan apa yang saya sangkalkan) dan pilihan criteria mengenai kewarasan secara personal di tengah masyarakat yang entah bagaimana awa mulanya hingga bisa mengidap penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.

Bicara tentang kebebasan dan keadilan. Mereka adalah dua hal yang berkaitan. Saling mempengaruhi satu sama lain. Kebebasan tanpa keadilan akan menciptakan masyarakat barbar dan lebih dari setengah sinting daripada zaman ini. Sedangkan keadilan tanpa kebebasan adalah mimpi di siang bolong.

Kini saya memilih menuangkan air dalam kendi untuk bisa dinikmati seluruhnya oleh tanah, air, angin dan udara. Saya berharap bisa merdeka di luar kamar mandi.

Albert Camuys mengatakan dalam judul tulisan yang sama, “Jika kita harus gagal, akan lebih baik bila kita ada pada pihak yang memilih kehidupan daripada pihak yang memusnahkan kehidupan”.

Dunia ini memang harus dalam keadaan yang tetap mendidih agar selalu layak untuk dijalani. Setiap hari selalu menimbulkan alasan-alasan baru untuk menjalani hidup penuh dengan senyuman, bahkan pada kemunafikan sekalipun.

Saya juga bukan orang yang suci. Tulisan saya ini juga bekan sesuatu yang terlalu istimewa apa lagi saya banyak meminjam kutipan orang lain.

Tapi masalah kebebasan dan keadilan, kebenaran dan kebohongan tidak akan pernah berhenti, masyarakat harus terus maju dan diberi suplemen wacana meskipun hanya seperempat kebenaran saja. Selebihnya kita berikan kepada mereka ruang untuk mencari sesuatu yang ada diluar dirinya dan lingkungan terdekatnya tanpa paksaan dan tirani mayoritas.

Kompromi mutlak dilakukan?
Ya, untuk menerapkan seperempat kebenaran kita harus tetap hidup dan berbaur dengan masyarakat yang sakit ini. Seperti halnya manusia hidup untuk melanjutkan eksistensinya di dunia.

Menciptakan kebudayaan superorganic seperti yang disebutkan oleh Herskovits. Konstruksi realitas apa yang sebenarnya saya bayangkan? Entahlah. Dengan bersikap seperti ini saja toh akan adal orang yang menganggap saya menyimpang. Subversive. Padahal tidak juga. Saya ini pengecut koq!!!

Counter-culture seringkali dianggap sesuatu yang negative dalam masyarakat yang tunduk dan menyerahkan segala urusan keadilan dan kebebasan pada aparat. Maka tidak heran jika isu anarkisme sering di belokkan dan di pelesetkan oleh media sebagai sesuatu yang berbahaya, tindakan barbar, tidak bermoral dan merusak. Padahal tidak sepenuhnya benar.

Bahkan seperempat kebenaran saja sudah lebih dari cukup untuk mempengaruhi orang bukan??

Sedangkan Surjono Soekanto mengatakan dalam Pengantar Sosiologi, “Counter-Culture tidak harus diberi arti negative, karena adanya gejala tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk di anggap kurang dapat menyelaraskan diri dengan perkembangan kebutuhan-kebutuhan”. Dalam pengertian ini, ada sekelompok kecil elemen masyarakat yang mempunyai ide baru tentang kehidupan yang mereka serap dari budaya lain yang telah disesuaikan terlebih dahulu dengan budaya mereka sepenuhnya.

Karena kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis, maka perubahan yang terjadi di dalamnya merupakan sesuatu yang biasa.

Masyarakat, menurut Kingsley Davis, adalah sistem hubungan dalam arti hubungan organisasi-organisasi dan bukan hubungan antara sel-sel. Apabila mengambil definisi kebudayaan dari Tylor yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan setiap kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai masyarakat. Maka perubahan-perubahan kebudayaan adalah setiap perubahan dari unsur-unsur tersebut. Lalu apa yang harus diatkuti dari perubahan sosial yang merupakan bagian dari perubahan kebudayaan?

Masalahnya kini, adalah bagaimana memadukan budaya-budaya yang ada agar “sesuai” dengan “selera” masyarakat?

Mengenai kebebasan. Dia bukanlah sesuatu yang tanpa batas. Kebebasan kita terbatas pada orang di sekitar kita sehingga kita harus terus beradaptasi agar tetap dapat menghidupkan ide-ide abru di tengah-tengah mereka.

Sebagai penutup, saya mengutip satu lagi quote Albert Camus, “Memilih kebebasan bukanlah memilih sesuatu melawan keadilan, seperti kata kebanyakan orang. Sebaliknya, saat ini kebebasan dipilih karena adanya orang-orang yang menderita dan berjuang dimana-mana dank arena hanya kebebasan seperti itulah yang patut diperjuangkan. Kebebasan dipilih pada saat yang sama dengan keadilan, dan dengan begitu kita tidak bisa memilih yang satu tanpa yang lain”.

Ya. Bahkan seperempat kebenaran telah lebih dari cukup untuk mempengaruhi orang lain. Seperempat dan setengah kebenaran lainnya, biarlah mereka yang mencari dan temukan dengan sendirinya.

Tuhan tidak gila. Tapi kamu yang sinting!

|
Uh. tuhan memang tidak pernah absen menjadi bahan gosip setiap waktu. di belahan dunia dan belahan dada manapun, tuhan pasti menjadi obyek walaupun dia tidak memiliki eksistensi selain esensi.

wooHoow.. pernah dengar kalimat "tuhan telah mati, kita telah membunuhnya" haha..
semenjak manusia merasa mewakili tuhan di dunia, semenjak itu pula tuhan menjadi lemah. tuhan tidak butuh perpanjangan tangan.

jika para front~front theis, atheis dan anti~theis gemar membicarakan tuhan. mungkin si pria bijak di atas langit itu sedang tertawa terbahak~bahak.

tuhan adalah sebuah bola dalam pertandingan final antar keyakinan. siapapun yang menceploskan dia ke gawang, akan mendapat nilai 1.
tidak ada yang kalah di akhir pertandingan, sebab 22 pemain mendapat giliran menyepak bola dan menggiring ke arah yang pemain itu mau.

sedangkan wasit kita anggap sebagai pengamal kitab suci yang memberi hukuman kepada pemain yang melakukan tindakan curang. tapi terkadang tafsir wasit atas suatu aturan tentang pelanggaran tidak terjebak dalam teks yang tidak kontekstual. wasit butuh lebih banyak nurani daripada naluri menceploskan bola dan mencari kemenangan dalam satu pertandingan.

wufh. bola dunia berputar. berapa banyak warga dunia saat ini? siapa yang menjadi pemain? yang mana menjadi wasit?

jangan lupakan penonton. mereka netral saja, mungkin para agnostik dan atheis ada di dalamnya. tidak peduli siapa yang jadi pemenang. asalkan biasa sekedar menonton sepakbola atau membuat kericuhan dalam pertandingan.

lalu. apa peran kamu dalam stadion dunia mahabaratha ini? haha.

tuhan memang tidak gila. sebab dia tak mungkin dipelajari.
tapi kamu memang sinting, berusaha membelanya.

sudahlah. tinggalkan dia dalam kesendiriannya. yang walaupun karena kesendiriannya kita bisa tercipta.

poor human. poor hate. poor hope.

Serupa apa? Hasrat Helios dan Sejarahmu

|
Saya tidak tahu sekarang jam berapa. Sekarang sudah memasuki dini hari. Adzan subuh baru saja berkumandang, cukup memecah keheningan dini hari ini dan cukup membuat konsentrasi meditasi saya buyar.

Tak apalah. Suara itu adalah panggilan yang baik.

Berminggu-minggu saya jarang berjumpa dengan pagi hari. Pagi dalam arti suasana. Saya kehilangan rasa peka untuk menikmati pagi hari.
Udara yang masih sejuk, embun, kabut, desir angin yang membuat tubuh merinding. Ada suatu kelembapan yang sulit untuk dijabarkan.

Matahari terbit dari belakang rumah saya. Terbenam di depan rumah saya. Menyengat di atas rumah saya.

Helios.

Energi murni yang sama yang telah menerangi hari-hari siang bertukar malam yang di alami nenek moyang manusia. Adam dan Hawa. Bagaimana mereka memaknai sifat matahari?
Matahari adalah saksi bisu dari milyaran sejarah manusia yang terjadi kala dia bersinar. Sisanya dia serahkan pada bulan yang selalu tak pernah bisa menepati tugasnya.

Matahari tentu tahu bahwa banyak hal keliru yang dilakukan manusia. Mungkin ini saat yang tepat mengganti lirik tembang lawas Doel Sumbang menjadi, "kalau matahari bisa ngomong".

Ya. Kalau saja begitu. Dia tentu akan memberitahu manusia bahwasanya kebencian itu tidaklah perlu diagungkan dalam kesumat hasrat yang tersumbat.
Bumi tidak sehebat itu.

Gandhi juga tahu. Kalau bumi mampu memenuhi kebutuhan manusia, tapi bumi tidak mampu mencukupi keserakahan manusia.

Para penulis sejarah mestinya sering-sering bertelepati dengan matahari. Karena sejarah-sejarah yang tak pernah tuntas membuat orang saling menikam.

Tulisan Sejarah mana yang kamu benarkan? Lukisan Sejarah mana yang kamu yakini?
Atau.
Apa kamu berani membuat sejarahmu sendiri?

Lahir, merangkak, berdiri, berjalan, berlari, istirahat, lalu mati. Siklus hidup yang nampaknya tak terelakkan.

Jadi kamu masih percaya sejarah 1 dimensi? Kamu masih saja mau jadi masyarakat tontonan? Masyarakat penonton. Pengikut tuan besar. Budak belian.

Saat kata direduksi maknanya. Disitu telah terjadi pengebirian logika.
Banyak istilah ekstrim yang bertendensi negatif perlu di redefinisi.

Temanku mengingatkanku dengan sebuah kutipan dari Munir, "ketakutan kita hari ini adalah tentang keberanian". Seingat saya seperti itu.

Kamu takut jadi pahlawan? Janganlah terlalu banyak menonton sinetron.
Jangan terlalu lama di cafe. Jangan terlalu banyak makan fastfood.
Jangan terlalu banyak teori.
Dan jangan terlalu percaya apa yang saya katakan.
Kamu cari bentukmu sendiri.

Mungkin di lain hari kita bisa merasakan suasana pagi yang setara, sama, namun tetap indah dengan harmoni perbedaan yang mutlak harus tetap terjaga.

Selamat menikmati pagimu.

Segelas teh hangat.

Obrolan santai dengan orang tua.

Mandi.

Sarapan.

Lalu?

Hadapi hari. Jadikan matahari sebagai pencatat sejarah hidupmu hari ini.

Bravo Helios!!....

Bahagialah Dalam Cobaan!

|
“Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.” – Mahatma Gandhi


< “Lingga, ini jam berapa? Kamu begadang terus!”

> “Ya, Ma! Sebentar lagi tidur.”

Semua ini gara-gara overdosis mie instant, dokter cantik diklinik 24 jam Jalan Jendral Sudirman sudah memperingatkan saya supaya tidak lagi mengkonsumsi mie instant.

“Tapi itu penyelamat di saat malam hari dok!”

Berani-beraninya saya melawan dokter. Dan sekarang mulai lagi terasa akibatnya, perut melilit, buang air besar tidak normal. What a great experience!

Dan salah satu penyakit saya yang paling parah adalah “menulis”, saya pernah mencoba beberapa hal yang bisa membuat orang mabuk. Tapi menulis adalah sesuatu yang benar-benar memabukkan.

Ini pagi yang gila. Sangat gila.

Hmm… setelah tadi saya chatting dengan seorang teman yang meminta kepada saya untuk memberikan doa yang super tulus untuk kakaknya yang baru saja selesai di operasi karena komplikasi (yang entah komplikasi apa itu!).

Saya tersentak.

Saya ini orang yang jarang berdoa. Jarang ke tempat ibadah. Bahkan saat ibu saya tercinta bertanya: “Kamu kenapa sih ga pernah solat lagi? Padahal dulu solatnya rajin!”.
Saya Cuma tersenyum dan diam. Saya tidak menjawab, takut-takut “pembenaran” saya menyakiti hatinya, dan saya tidak setega itu.

Oke, kalau di lanjutkan akan terlihat seperti curhatan.

Ditemani dengan lagu blues dari CD bajakan milik papa saya, kamar gelap ini semakin membuat saya ingin berteriak kencang.

Manusia memang tidak akan pernah bisa jauh dari penderitaan. Tapi juga manusia tidak bisa jauh dari rasa cinta.

Tahun lalu banyak saudara saya yang meninggal. Dan teman saya juga banyak yang ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat mereka sayangi, bahkan ada sahabat saya yang kehilangan calon bayinya karena istrinya mengalami keguguran.

Kejadian. Kematian. Sebuah titik akhir dari hidup seorang manusia. Tapi merupakan sebuah awal dari perbaharuan hidup bagi orang yang ditinggalkan. Mereka harus mulai membiasakan diri untuk memulai lembar hidup baru tanpa orang yang berarti dalam hidupnya.

Saya belum pernah merasakan sedekat itu dengan kematian. Sekalipun saya pernah stress berat saat papa saya terkapar hampir selama 2 minggu akibat stroke ringan yang sedikit merusak penglihatannya sampai saat ini.

Saya belum pernah sedekat itu dengan kematian.

Sekali waktu saya datang ke tahlilan meninggalnya Ibunda dari sahabat saya. Teman adalah orang yang sangat ceria. Bahkan saat saya datang, dia menyambut saya dengan senyuman. Saya tidak tahu apa yang dia rasakan sesungguhnya, tapi saya senang sahabat saya itu tetap memiliki keceriaan dan “kepolosannya” haha.

Saya menulis ini bukan tentang saya. Tapi tentang semua orang terdekat saya yang sedang mengalami dahsyatnya gelombang cobaan.

Dan tulisan ini juga bukan untuk membuat mereka jauh lebih sedih dari saat ini. Tulisan ini justru ingin membuat mereka tersenyum. Bahwa manusia tidak sendirian dalam menghadapi cobaan. Kita masih punya teman, saudara, keluarga, kekasih dan lainnya untuk berbagi cerita.

Tulisan ini hanya kegiatan saya “pengantar sebelum tidur”.

Ya. Saya belum pernah berada sedekat itu dengan kematian.
Entah apa yang sedang saya pikirkan saat ini. Dengan segala ketakutan saya membuat tulisan ini. Takut-takut besok ada anggota keluarga saya yang meninggal.
Tapi entahlah. Kan kamu tahu sendiri kalau ketakutan itu justru bisa merangsang keberanian kamu yang terpendam.

Kata orang bijak, Saat seorang manusia telah melewati satu cobaan dalam hidupnya, dia telah berada dalam satu level yang lebih tinggi.
Ya, level kehidupan yang lebih tinggi. Dari penderitaam, kematian dan rasa kehilangan, kita justru seharusnya bisa lebih menghargai kehidupan yang masih kita miliki saat ini.

Saya yang belum pernah sedekat itu dengan kehilangan yang membuat rasa sedih tereksploitasi berani berkata, “Tetap jaga senyummu kawan!”.

Tidak ada yang jahat. Jangan juga kamu menyalahkan Tuhan. Ini dunia kita, ini hidup kita, jangan salahkan siapapun. Dan jangan pula menyalahkan dirimu sendiri saat kamu kehilangan sesuatu.

Saya teringat satu kalimat seorang penulis Bali, "Sebelum terlahir kita sudah di vonis untuk mati. Hanya masalah kapan dan dimana?"

Keep your head up!

Live life. Love life!

Saya memberanikan diri untuk posting note ini dengan rasa bersalah dan pertimbangan yang tidak mudah!!!

Cause I've Forgotten All Of Young Love's Joy

|
Cupid Is Dead



Kamis, 21 Januari 2010
03.59 - 04.50

Silahkan saja nyanyikan lagu cinta, lagu putus cinta, lagu jatuh cinta, lagu kebencian, lagu kekecewaan, lagu harapan dan lagu-lagu yang menurut kamu paling mematikan perihal cinta. Saya tidak akan terpengaruh.

Karena rasanya saya sudah mati rasa. Ini nafas seakan tidak berguna. Bukan tidak berguna dalam arti “tidak berguna” menurut kamu loh!

Saya menciptakan ruang kosong yang terbuka begitu luas dan lebarnya sampai-sampai saya kewalahan untuk mengisinya. Saya bingung. Apa yang harus saya bawa kedalam sana untuk kembali menghiasnya hingga bisa kembali terang benderang.

Hmm… saya sedang melukis saat itu. Saya melukis tentang sesuatu.

Suatu keindahan yang tidak pernah dapat kamu bayangkan kecuali saya jabarkan sejernih mungkin pada otakmu yang agak-agak terbelakang. Keindahan itu sungguh mempesona, sampai-sampai diri ini enggan berpaling barang sekejap saja.

Bahkan, lembar-lembar kertas yang mengandung kalimat-kalimat indah Kahlil Gibran pun seakan terbakar. Terlupa. Muak!

Saat saya sedang nikmat melukis. Ada yang mencuri tinta terakhir untuk warna terakhir yang akan saya goreskan. Kemurnian dari keindahan itu memudar perlahan.

Saya tinggalkan lukisan itu di ruang tanpa gembok dan kunci. Dengan frame terbuat dari besi yang makin lama kian berkarat. Dengan kanvas yang terbuat dari untaian sutra dan tembaga. Dengan kuas yang tercipta dari rambut halus Unicorn. Dengan cat yang terbuat dari air mata Leviathan. Dengan penglihatan yang lebih tajam dari Sauron. Dan dengan kepekaan nurani yang melebihi kearifan semua Agama.

Lukisan itu seakan tak pernah ada. Lukisan itu hanya sekedar gambar kartun sekelas Chibi Maruko Chan dan sekasar lukisan Sinchan yang paling halus.

Kamu tahu kisah cinta Caligula? Apa kamu tahu kisah mematikan Romeo dan Juliet?
Dulu aku adalah Romeo.
Tapi sekarang? Aku jauh lebih mirip Caligula.

Tapi aku bukan penggila Kamasutra. Saya lah yang sebenarnya menguasai jiwa ini dengan dominan, dan memilih menjerat Persephone hingga Demeter marah pada bumi.

Elok wajah dalam lukisan itu sungguh lebih mematikan dari tatapan Monalisa. Lebih bernuansa neraka ketimbang “Inferno” Dante sang Maestro.

Lidahku berbisik lebih memuakkan ketimbang suara ketukan palu di pengadilan.

Apa kamu tahu maksud semua ini?

Aku hanyalah jiwa yang tersesat dalam galaksi.
Jiwa yang mencari jalan kembali.
Mencari kembaran yang tak pernah terlahir.
Mencari separuh jiwa yang lenyap dalam setiap mimpi basah.
Mencari kenyataan jauh melebihi onani.

Ya. Sumpah mati saya lupa.

Seribu Cupid pun tidak akan mampu mengembalikan ingatan saya. Bahkan jutaan Cupid akan melepaskan sayapnya. Kemudian menancapkan sayap patahnya itu di pundakku. Jika aku adalah cinta, ya dewa cinta. Aku adalah cinta?

Tidak. Tapi kalian lah yang layak disebut cinta. Aku hanya anak nakal yang harus dihukum karena enggan membaca ayat-ayat suci. Aku hanya anak terlantar yang enggan membuka diri.

Cinta bukanlah apa yang kamu pikirkan ataupun yang kamu pikirkan. Cinta adalah apa yang kamu perbuat. Jika memang aku harus menjadi Cupid. Maka jadilah aku Cupid.

Siapa yang ingin menjadi korban panahku yang pertama? Korban panah dari si amatir. Hingga nanti kamu lupa baik-buruk, tampan-jelek, cantik-ganteng, dan jelita-korengan.

Ya. Saya kehilangan semua. Saya lupa semua rasa. Yang ada hanya pungguk yang merindukan bulan. Seperti air yang kehausan, seperti api yang kepanasan, seperti angin yang kedinginan, seperti cahaya yang kesilauan.

I really screwed up this time hahaha… Bitch ass muthefucker!!!

An Epilogue: Hatred Epiphany

|
I like you not because you are my friend. But because you're a woman. Do you understand my dear?

Don't show your love, i've feel enough. Show me pain, it will make me back to reality.

Let the star fall. let the sky cry over load. Love is an epilogue to hate something you can't reach. Sky is the limit.

For every bitch, for every hore, for every angel, for every skywalker. I trust to God, take care of their soul.

Love and hate? i prefer to hate. People got a lot of brave to love, but less to hate.

I'm a hawk looking for a nocturnal too eat.

Puberty is my liberty. For every psychoneurosis i ever had, i beg for cupid to send me a secret message under trough on a lost island.

Pigeon... Oo, Pigeon. You had to be my messenger, but why didn't you accomplish the secret message.

I dance in this music. Minor swing.

I swear to God. I throw the key to the deepest sea. I beg to every God, Goddess and devil, curse me badly.

I'm a huncbacked freak who knock a wrong door to get in.

And that blind woman said, "I knew when i saw you, you had opened the door!"

Thus.

I decided to go. Yeah, i must to go far, far away.

And i promise to my self, I would never ask her any question.

Exactly, I'm dreaming in a dream.





_Elias The Lost One_

27 January 2010
Wednesday 07.30 pm - 07.57 pm

Bogor (masih) Mendung ya kawan??

|
Bogor (masih) Mendung ya kawan??
Minggu, 21 februari 2010 (01.01-02.08)

Nampaknya ada suatu rasa yang mendidih di dalam jiwa saya.

Mari kita mengukir arti dari kelopak mawar terakhir yang kita petik. Apakah “ya” atau “tidak”. Jauh kamu mencoba mencari cahaya duhai kawanku! Padahal cukup kamu bangun pagi hari, hirup udara segar. Kemudian, cobalah menantap keangkasa yang berbuih awan tipis, biarkan sinar matahari ini menyentuh wajahmu dan tubuh rapuhmu.

Mencoba mengubah paradigma.

Andaikan saja Adam yang membuat Hawa turun ke bumi. Andaikan saja Gibran tak pernah berjumpa dengan Selma. Jika, saja siang adalah malam.

Sebuah ketidakmungkinan yang justru mengharuskan manusia menegakkan kepala, mencari jalan keluar dari pintu masuk yang tak pernah bisa kembali dibuka.

Siapa yang tidak membutuhkan pegangan? Siapa yang tidak tahu jika kehidupan adalah sandi-sandi yang harus dipecahkan seperti DaVinci Code. Holmes dan kaca pembesar.

Jika boleh jujur, yang tentu sudah kalian tahu, saya mencintai Aphrodite, di kemudian hari dia berubah rupa menjadi Selma. Dan di lain hari aku berubah menjadi Sisifus.

Hoho. Aku seperti Leo Tolstoy? Rupanya aku belum sejauh itu bisa melangkah. Libido tergerus dalam kerangka frame-frame kaku yang membuat jarak semakin berjarak, langit semakin melangit, tuhan semakin menuhan. Ini semua terjadi berkat Jumat-Jumat dan Sabtu-Sabtu dari para pesakitan yang terus menyiksa saya seperti bala raksasa yang merangsek Astina sebelum Bima mampu menjamah hati sang putri raksasa.

Yang paling mampu meredam semua kerikil abstrak ini hanyalah tiada. Bukan siapa-siapa. Aku tidak memuja. Bahkan hampir lupa cara bersujud. Baiknya saya masing ingat bagaimana cara bersyukur.

Tarik. Tarik. Menarik dan kemudian ulur benang merah itu duhai kawanku! Elegi yang cantik, amboi! Justru yang paling menarik adalah apa yang paling tidak menarik.

Silahkan kamu coba terbang ke langit ke tujuh. Aku tak akan melakukan itu. Aku tak akan pergi terlalu jauh dari rumah jika hanya untuk kembali membawa sakitnya rasa terjatuh sambil menangis.

Dunia ini luas. Tapi lusa tidak ada yang tahu kapan akan dating dan pergi. Aku lihat dari sisi lain, ternyata kamu seperti peri gigi. Harapan yang ditanamkan, rupanya hanya kosong, peri pembohong. Kalian pasti sering tertipu. Apalagi dalam arena perjudian.

Bangunlah. Bangunlah. Dan bangun! Ini hidup kamu. Kamu berdiri sendiri. Aku?? Ah, lupakan. Aku tak bisa banyak membantu, kecuali berdoa pada yang tuli. Berbisik pada yang peka.

Kita tidak pernah membuang waktu, karena memang tak pernah ada waktu yang terbuang jika itu maksudmu. Ya, karena. Eh, karena kita memang tidak memiliki waktu. Waktu adalah bebas, kebebasan, di akhir kata pembebasan. Waktu hanya akan mengungkung jika kamu percaya. Garis akhir di detik penentuan hidup atau mati dalam bujukan anarki yang pasif.

Mimpi dan biarkan mimpi tetap bermimpi. Manusia hidup untuk itu. Tapi terkadang bisa kita temukan orang yang sedang mewujudkan mimpinya saat oran lain masih bermimpi bahkan menyusun mimpinya. Di mana kamu akan menempatkan diri dalam ruang sempit yang membebaskan ini? Ruang bebas yang menyempitkan. Sesak hanya akal-akalan pikiran yang keruh.

Roda bergerigi. Roda dan jari-jari. Analogikan hidup itu seperti roda? Sebelumnya silahkan pikirkan apa saja yang membuat roda menjadi “ada”.

Makna-makna dunia belum semuanya tersingkap. Jangan lagi bertemu Selma.
Semoga di lusa dan lain hari cerita-cerita ini berubah menjadi kisah Janan dan Osman dalam cerahnya suram buku “Kehidupan Baru”.