Bogor (masih) Mendung ya kawan??

|
Bogor (masih) Mendung ya kawan??
Minggu, 21 februari 2010 (01.01-02.08)

Nampaknya ada suatu rasa yang mendidih di dalam jiwa saya.

Mari kita mengukir arti dari kelopak mawar terakhir yang kita petik. Apakah “ya” atau “tidak”. Jauh kamu mencoba mencari cahaya duhai kawanku! Padahal cukup kamu bangun pagi hari, hirup udara segar. Kemudian, cobalah menantap keangkasa yang berbuih awan tipis, biarkan sinar matahari ini menyentuh wajahmu dan tubuh rapuhmu.

Mencoba mengubah paradigma.

Andaikan saja Adam yang membuat Hawa turun ke bumi. Andaikan saja Gibran tak pernah berjumpa dengan Selma. Jika, saja siang adalah malam.

Sebuah ketidakmungkinan yang justru mengharuskan manusia menegakkan kepala, mencari jalan keluar dari pintu masuk yang tak pernah bisa kembali dibuka.

Siapa yang tidak membutuhkan pegangan? Siapa yang tidak tahu jika kehidupan adalah sandi-sandi yang harus dipecahkan seperti DaVinci Code. Holmes dan kaca pembesar.

Jika boleh jujur, yang tentu sudah kalian tahu, saya mencintai Aphrodite, di kemudian hari dia berubah rupa menjadi Selma. Dan di lain hari aku berubah menjadi Sisifus.

Hoho. Aku seperti Leo Tolstoy? Rupanya aku belum sejauh itu bisa melangkah. Libido tergerus dalam kerangka frame-frame kaku yang membuat jarak semakin berjarak, langit semakin melangit, tuhan semakin menuhan. Ini semua terjadi berkat Jumat-Jumat dan Sabtu-Sabtu dari para pesakitan yang terus menyiksa saya seperti bala raksasa yang merangsek Astina sebelum Bima mampu menjamah hati sang putri raksasa.

Yang paling mampu meredam semua kerikil abstrak ini hanyalah tiada. Bukan siapa-siapa. Aku tidak memuja. Bahkan hampir lupa cara bersujud. Baiknya saya masing ingat bagaimana cara bersyukur.

Tarik. Tarik. Menarik dan kemudian ulur benang merah itu duhai kawanku! Elegi yang cantik, amboi! Justru yang paling menarik adalah apa yang paling tidak menarik.

Silahkan kamu coba terbang ke langit ke tujuh. Aku tak akan melakukan itu. Aku tak akan pergi terlalu jauh dari rumah jika hanya untuk kembali membawa sakitnya rasa terjatuh sambil menangis.

Dunia ini luas. Tapi lusa tidak ada yang tahu kapan akan dating dan pergi. Aku lihat dari sisi lain, ternyata kamu seperti peri gigi. Harapan yang ditanamkan, rupanya hanya kosong, peri pembohong. Kalian pasti sering tertipu. Apalagi dalam arena perjudian.

Bangunlah. Bangunlah. Dan bangun! Ini hidup kamu. Kamu berdiri sendiri. Aku?? Ah, lupakan. Aku tak bisa banyak membantu, kecuali berdoa pada yang tuli. Berbisik pada yang peka.

Kita tidak pernah membuang waktu, karena memang tak pernah ada waktu yang terbuang jika itu maksudmu. Ya, karena. Eh, karena kita memang tidak memiliki waktu. Waktu adalah bebas, kebebasan, di akhir kata pembebasan. Waktu hanya akan mengungkung jika kamu percaya. Garis akhir di detik penentuan hidup atau mati dalam bujukan anarki yang pasif.

Mimpi dan biarkan mimpi tetap bermimpi. Manusia hidup untuk itu. Tapi terkadang bisa kita temukan orang yang sedang mewujudkan mimpinya saat oran lain masih bermimpi bahkan menyusun mimpinya. Di mana kamu akan menempatkan diri dalam ruang sempit yang membebaskan ini? Ruang bebas yang menyempitkan. Sesak hanya akal-akalan pikiran yang keruh.

Roda bergerigi. Roda dan jari-jari. Analogikan hidup itu seperti roda? Sebelumnya silahkan pikirkan apa saja yang membuat roda menjadi “ada”.

Makna-makna dunia belum semuanya tersingkap. Jangan lagi bertemu Selma.
Semoga di lusa dan lain hari cerita-cerita ini berubah menjadi kisah Janan dan Osman dalam cerahnya suram buku “Kehidupan Baru”.

0 komentar: