Tubuh Perempuan

|
Mar 27, '09 9:59

Tulisan pendek ini bersumber dari sebuah artikel dalam CAKRAM, sebuah majalah periklanan, promosi dan kehumasan sebagai referensi bagi mahasiswa Jurusan Public Relations yang merupakan konsentrasi saya selama Kuliah di IISIP Jakarta.

Sebuah kajian feminis seperti ini mungkin seharusnya diangkat oleh perempuan, Bukan oleh laki-laki seperti saya, tapi dalam era postmodern sekarang ini rasanya sudah tidak terlalu penting lagi kita memperdebatkan masalah biasa atau tidak biasa, tapi pada masalah makna. Separuh dari tulisan ini merupakan isi dari artikel tersebut. Ditambah dari Averroes Community di situs www.averroes.or.id. Semoga tulisan saya ini memberi motivasi bagi para perempuan untuk menunjukan eksistensinya kembali. Dari dalam negeri mungkin kita bisa belajar dari R.A Kartini.

Mari kita mulai.

Pencitraan tubuh perempuan sudah lama menjadi perbincangan yang kompleks dalam diskursus media. Sejumlah kritik menyebutkan bahwa media telah mengeksploitasi tubuh perempuan semata-mata untuk manfaat komersial. Cyndi Tebel dalam bukunya “Body Snatchers” (2000) menggambarkan bagaimana perempuan berusaha habis-habisan agar tampil langsing dan memikat. Million of eager young girls are willing to sacrifice long-term mental and physical wellbeing, tulisnya, hanya demi suatu kesempatan yang sangat kecil untuk menjadi model terkenal.

Karena itu tak perlu heran jika industri kecantikan berkembang dengan pesat. Industri bedah plastic agar tampil cantik bahkan semakin digandrungi. Sarah Tippit dari kantor berita Reuters melaporkan bagaimana para Bintang terkenal berduyun-duyun mereparasi tampang mereka di dokter bedah plastic agar tampil sempurna di penyerahan hadiah Oscar.

Karena itu industri kecantikan dianggap sebagai pemicu yang menjadikan perempuan tak pernah puas dengan tampilan tubuh mereka. Dunia mode memang selalu bermain dengan trend, dan kini mengagungkan model yang betul-betul ramping.

Dalam konteks semacam ini, tudingan terarah ke para pria yang dianggap selalu memanipulasi perempuan untuk kepentingan dan kepuasan mereka. Naomi Wolf, salah satu tokoh feminis terkemuka, menyebutkan bahwa konsep cantik adalah senjata Terakhir yang dipakai oleh patriarkhi untuk menundukan perempuan. Walau dalam kenyataannya, sekian banyak produk kecantikan maupun media yang menampilkan pentingnya kecantikan, dikelola atau dikuasai oleh perempuan.

Pencitraan dalam iklan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Freud sudah menyebutkan bahwa banyak aktivitas manusia digerakkan oleh impuls seksual.

Untuk para laki-laki coba lihat perempuan disekitar kita. Apakah mereka menyembah berhala kecantikan? Selalu mengikuti fashion yang terkadang tidak mereka pahami, kenapa harus mereka ikuti?

Untuk para perempuan, sudahkah kalian menyadari bahwa kecantikan bukanlah sesuatu yang mutlak melinkan relative? Apakah kalian masih terjebak dalam pencitraan produk yang hanya menjanjikan sugesti seperti produk pemutih?

Bagaimana mungkin seorang yang dari kecil memiliki kulit hitam bisa berubah menjadi lebih putih dalam waktu 7 hari saja? Dan yang tidak habis pikirnya lagi, masih saja ada orang yang mengkonsumsi produk yang jelas-jelas tidak terbukti.

Lama sudah rasanya gaung emansipasi perempuan meredup (menurut saya), ingin juga kenal dengan seorang perempuan yang mempunyai prinsip kuat.

Banyak perempuan di kampus saya yang modis, tapi saying saat diskusi di dalam kelas gaya pakaiannya (yang serba wah dengan Brand internasional) melebihi eksistensi dirinya. Ini menurut versi saya, karena saya belum berdiskusi dengan beberapa dari mereka. Gengsi telah mereduksi eksistensi nalar mereka, hingga mungkin secara tidak sadar mereka tercebur dalam mainstream yang berkiblat pada rumah mode di eropa. Walaupun hal ini juga terjadi pada laki-laki. Banyak yang perilaku konsumsinya hanya berdasarkan pertimbangan emosional semata.

Memang dalam masyarakat industri ini media massa telah menjadi tuhan yang baru. Dimana nyaris segala “kebutuhan” manusia dapat dipenuhi melalui media massa tersebut.

Pada hakekatnya, pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas. Maka dari itu, seluruh isinya adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas (constructed reality) yang dipilih dan diolah menjadi sebuah wacana yang bermakna (Sobur, 2004).

Tubuh perempuan selalu menjadi perdebatan. Perbedaan derajat menjadi salah satu sebab mengapa perempuan selalu memiliki posisi yang lebih lemah disbanding laki-laki. Hal ini terlahir sejak era kolonialisme dan feodalisme yang melegenda. Banyak perempuan mengalami serangan seksual, di eksploitasi dan di nafikan.

Bila memakai pendekatan postkolonial, semangat membalik dapat kita temukan pada isu pornografi. Pornografi banyak ditentang oleh kaum perempuan, dengan asumsi pornografi telah mengeksploitasi tubuh perempuan habis-habisan, dan hanya lelakilah yang mendapatkan keuntungan. Mereka menunjukan data bahwa lelakilah konsumen terbanyak dalam peredaran pornografi. Di situ perempuan merasa dirinya dipermalukan, ditelanjangi bahkan beberapa mengatakan film porno adalah bentuk perkosaan lain dalam dunia fiksi media visual.

Tetapi postkolonial, dan terutama yang seiring dengannya (postfeminis) dapat membaliknya bahwa pornografi dapat digunakan untuk kesadaran seksualitas perempuan itu sendiri. Perempuan memiliki hak untuk menunjukan hasrat seksualitas dirinya. Bahwa hasrat seks sangat manusiawi, tentunya juga bagi perempuan. Seperti tokoh Laila dalam Saman novel Ayu Utami, di balik perselingkuhannya ada pesan-pesan yang ia tunjukan, tentang ideologi patriarkhi, dan bagaimana seks, agama dan Tuhan dipandang dari sudut mata dan hati atau pengalaman perempuan.

Fenomena Madonna, adalah ikon dalam semangat membalik postkolonial. Kaptalisme dan tubuhnya ia gunakan utnuk menjai kekuasaannya. Di sini Madonna sebagai tubuh perempuan tidak lagi menjadi korban eksploitasi, ia mengeksploitasinya untuk menjadi kekuasaan menundukan wacana yang tidak membebaskan perempuan meraih diriya sendiri. Madonna adalah imaji atas dirinya sendiri, yang dapat memperlihatkan gender dan seksualitas kepada generasi pada waktu itu. Kebangkitan popularitasnya sejak 1980-an dengan smash hit lagunya Like A Virgin dan Material Girl di awal 90-an merupakan transformasi lambang tentang “kesadaran diri” atas kebingungan gender. Penggemarnya yang kebanyakan perempuan, dan kritik-kritik terhadapnya menajdi intelektual, bahkan banyak membawa studi tentang gender, seksualitas dan media massa. Madonna menjadi simbol perempuan dalam post-gender.

Semangat membalik Madonna menjadi semangat post dan menjadi contoh penting dalam melihat persoalan seks perempuan di tengah perlawanan dan kehadirannya. Gerakan-gerakan post memang menjadi kontroversial karena tidak sealur dengan standar nilai masyarakat dan agama, kemunculannya sering mengejutkan dan awalnya akan dianggap sebagai kehadiran yang melenceng. Namun bila dipahami dan dipelajari lebih dalam, pemahaman post termasuk postkolonial sesungguhnya melengkapi perlawanan kolonialisme itu sendiri.

Tetapi sebelum melakukan logika semangat pembalikan, para perempuan-perempuan juga harus menumbuhkan kesadaran dirinya dan bangun dari buai ilusi yang diciptakan media melalui pencitraan produk.

Anggap saja tuhan itu perempuan. AMIN.

0 komentar: