Sebuah Kehidupan Nyata: Membongkar kerangka moralitas, kebinatangan dan kebusukan!!!

|
31 Maret 2009- 1 April 2009,

Senin 23.22-00.55.

Satu hal yang tidak pernah kita pelajari, tetapi kita telah pandai menjalaninya, bahkan dengan kesombongan, keangkuhan, dan juga tak jarang melangkah bersama kebodohan. Satu hal itu adalah kehidupan. Sebuah anugrah yang maha dahsyat. Hanya sekali, tanpa siaran ulang seperti sepak bola atau video klip di televisi.

Hingga malam perenungan ini datang, saya telah banyak mengkonsumsi ratusan teks dalam halaman-halaman dari beragam buku-buku, artikel, puisi, prosa, literatus ideologi hingga daftar isi kandungan sebuah produk sabun, odol dan shampoo.

Kita sering berfikir kalau kita ini pintar. Sungguh kita memang sering brsembunyi dan bermain dengan kemunafikan. Bergantian mengenakan topeng yang berbeda setiap hari.

Langit masih di atas kita kawan!! Bumi juga masih kita pijak. Saya ini hanya binatang yang terpuruk di trotoar. Ya, manusia memang binatang. Terkadang manusia menjadi seperti Tumbuhan, karena memang banyak bulu yang tumbuh ditubuh kita, belum lagi pertumbuhan bagian tubuh yang lain akibat hormon.

Sebagian dari kita tumbuh lebih cepat dari yang lainnya.

Teman saya sangat canggung dengan Pembina skripsinya, karena dia memandang kalau sang dosen pembimbingnya itu lebih pintar darinya. Saya katakan padanya, “Semua orang itu pintar. Sama saja. Dia lebih pintar karena dia telah mendapat banyak ilmu daripada kita. Bahkan tanpa sekolahpun kita bisa sepintar dia andai saja kita mau membaca dan menggali, mencari tahu ada apa saja sih di dunia ini”.

Dia merenungkan perkataan saya. Sayapun tak kalah bingung. Darimana kebijaksanaan itu datang? Sedangkan saya tidak pernah berada dalam situasi yang dia hadapi. Ya Itulah manusia. Itulah keajaiban hidup. Akal!!

Kita semua memang sangat bangsat. Manipulatif. Kau juga bangsat kawan, sama seperti saya. Hanya saja mungkin kebangsatan kita berbeda sebab musababnya.

Kebangsatan saya adalah seringnya saya mengganggu hidup orang. Mengajak diskusi tentang sesuatu yang tak pernah mereka pedulikan, bakhkan mengulik masa lalu yang pahit sekalipun saya tega. Hiraukan saja saya. Annoying. Memang sungguh mengganggu. Menyebalkan. Tapi saya senang dan bahagia menjadi si bangsat ini. Karena mungkin dari diskusi itu pikiran saya malah menjadi sederhana. Toh dunia dan kehidupan ternyata berjalan baik-baik saja, tidak serumit dalam kepala saya. Memang akan sangat rumit jika kita terlalu berlebihan merencanakan sesuatu tanpa realisasi. Sebuah representasi jika manusia ini sangat rapuh dan linglung kadangkala.

Ya biarkan saja setiap orang memilih jalan hidupnya. Saya tidak berjalan di lintas kiri maupun kanan. Di tengah juga saya masih ragu, semua terlihat abu-abu. Saya tidak pernah mengklaim diri yang paling sempurna dan paling memiliki kebenaran. Karena kebenaran tunggal yang absolute itu hanya milik sendiri. Dialektika kebenaran dan keadilan tidak akan menemukan titit temu, karena realitas itu subyektif. Kalau kata Hadi di profile Facebooknya, Religion: Deeply Personal. Bravo kawan!!!

Saya tidak ingin ketika mati nanti saya dikenang sebagai orang yang mulia. Karena seperti sudah saya katakan tadi, saya ini hina, kotor, nyaris tidak bermartabat. Nanti juga kalian tahu. Tapi saya tidak hanya membongkar borok sendiri, melainkan (mungkin) borok kalian juga haha… Masih bernyali kan??

Laki-laki. Dajal dan onani. Oral, anal, menjadi alat masturbasi. Siapa yang belum pernah melakukannya? Itu baru dosa besar. Jahanam kalian.

Sebidang kotak hitam menatapku. Saya dan kotak itu saling menajamkan pandangan. Dalam genggaman saya ada sebuah remote untuk mengendalikan mana yang ingin saya lihat. Kami saling menghipnotis. Tapi dayanya lebih kuat dari yang saya punya. Dia memang sumber segala sesuatu. Namun kurang ajarnya, dia tidak memiliki lembar kedua. Hanya selembar narasi yang dia muntahkan dan dia paksakan untuk saya terima dan saya lahap. Mentah-mentah siap atau tidak harus saya lahap. Jahatnya lagi, dia membawa oleh-oleh ratusan pencitraan produk, yang bergentayangan seperti hantu, pada jam tayang utama. Saya jadi rindu sinetron jadul berjudul “Noktah Merah Perkawinan” yang dibintangi Cok Simbara, atau “Tersanjung” yang fenomenal.

Dimanakah hasrat saya? Dia hampir selalu diam dan menangis, terpuruk di ujung lorong ditengah cahaya kegelapan. Kata embah saya Albert Camus, orang yang kuat itu tidak takut untuk meneteskan air mata. Tapi karena sering menangis dan mengeluh saya justru dibilang cengeng. Siapa yang salah? Mana yang benar? Masyarakat memang tidak tahu apa-apa tentan saya. Mereka menjadi hakim dan terkadang menjadi tuhan.

Sungguh kebebalan itu entah berasal darimana sumbunya. Ingin rasanya menjadi arsonist, saya bakar setiap pemukiman, dan setiap orang, kakek-nenek, pria-wanita, anak-balita, bahkan saya bakar juga orang tua saya. Kemudian saya bakar diri saya sendiri. Kalian lebih baik mulai waspada.

Saya disebut kafir, musyrik oleh mereka. Siapa mereka? Jelmaan tuhan? Hah, persetan. Saya adalah hamba bagi diri saya sekaligus tuan (Bukan Tuhan) bagi diri saya sendiri.

Persahabatan dan pertemanan itu selalu berdasarkan kepentingan kata Reza teman satu grup, (mungkin Boy Band) debat dan diskusi saya. Benar juga koq. Lagi-lagi embah saya Albert Camus mengatakan jika kita ini sebenarnya memperbudak teman dan sahabat kita. Kita meraih sesuatu dengan cemerlang dimana teman kita hanya menjadi penonton. Mereka hanya sekedar pemenuh hasrat bagi kita. Misalkan: Ketika saya sedang kesepian, saya selalu mencari teman untuk bercerita tentang apapun dimana saya selalu menjadi Pusat pembicaraan. Ya, mereka hanya pemenuh hasrat. Baru tahu kan kalian? Ya sebutlah dan teriakan hidup kebangsatan. Toh kalian juga kadang pernah menjadikan saya pemenuh hasrat itu kan haha…

Dalam melihat kesalahan fatal. Kadang kita bisa memaafkan seseorang atas kesalahannya. Memang benar. Tapi dalam masyarakat kita justru banyak yang mampu memaafkan tapi belum tentu bisa melupakan kesalahan seseorang tersebut. Dendam kesumat? Saya juga sering seperti itu. Tidak baiklah bagi kesehatan mental, dilihat dari sudut pandang psikologis.

Apalagi jika kita bicara tentang cinta. Sebuah omong kosong besar. Narasi kepalsuan. Di masa sekarang arti cinta telah tereduksi menjadi setitik atom, Bukan semakin bermakna, tapi semakin nyaris tak bermakna lagi. Romeo dan Juliet harusnya menjadi cermin, tapi kini menjadi komodita. Kalau kamu cinta pasangan kamu, maka kamu harus mau melakukan apapun, misal: membelikan berlian, perhiasan. Saat ini memang cinta harus penuh modal. Romantisme mati di hajar oleh realisme. Memang dalam masa seperti ini mutlak kita harus melakukan kompromi, namun tanpa menjual jiwa kita. Cinta itu perasaan, tapi dengan eksistensi sebagai manusia, kita butuh makan, Bukan butuh cinta untuk hidup. Ah, entahlah.

Saya kan laki-laki. Tapi saya tidak mabuk, narkoba, pokoknya hidup sehat, bahkan merokok baru saya mulai 2 minggu yang lalu karena stress yang tidak tertahan. Karena orang bilang merokok itu macho, haha… Betapa bodohnya orang yang berpikiran seperti itu. Mana ada tulisan merokok itu macho? Merokok itu menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan dan janin Bodoh!! Seks itu baru yang disebut macho!!! Dalam kesempatan ini sebagai laki-laki maka saya coba menerjemahkan perempuan. Ini sungguh menunjukan wajah saya, mungkin wajah kalian juga.

Saya sangat menghargai perempuan. Tapi perempuan hanya wadah eksploitasi hasrat binatang para lelaki saja. Cabul. Ya kita semua cabul. Pasti ada diantara kalian yang menolak untuk mengaku. Haha… coba saja saat kalian menikah dan menikmati malam pertama, atau saat kalian menikmati apa yang disebut sebagai perzinahan dalam konteks agama, atau saat kalian menggerayangi tubuh perempuan-perempuan kalian. Betapa empuknya payudara itu Bukan? Masih ingat perempuan mana yang kalian sentuh pertama kali? Indah rasanya saat pertama kali menemukan puting atau menyusuri bulu-bulu lebat diantara Vagina. Kemudian wanita itu mulai membuka retsleting celana kita, memainkan persneling, menjilat dan bahkan melakukan hal-hal yang ajaib. Kadang mendesah, atau mendapati celana dalam kita basah. Ini Bukan bicara porno, asusila, atau kata-kata tak bermoral. Saya hanya menulis secara lugas, blak-blakkan saja. Tak perlu malu. Toh kita memang biadab hahahaha… Orang tua kita juga melakukannya. Kalau tidak begitu bagaimana mungkin kita terlahir.

Justru moral itu adalah kemunafikan. Wong dibelakang moral itu kita sering berfantasi dalam kepala kita kan??

Hidup ini memang panggung sandiwara. Kita memang lakon yang sungguh sialan mampu menipu banyak orang. Kita selalu menampilkan diri sebagai pribadi yang baik di luar, secara fisik, menggunakan kata-kata yang baik seakan-akan kita ini orang paling beradab dan terpelajar. Dahsyat. Betapa naifnya. Sungguh penipu, pendusta. Laknat!!

Masih jauh lebih mulia seorang maling ayam yang ketahuan mencuri, diarak masa, dihantam hingga babak belur, kemudian disiram minyak tanah dan dibakar hidup-hidup. Pembakar itu yang biadab. Pencuri itu justru orang yang sangat jujur, mengapa dia mencuri? Ya mungkin dia jarang makan daging, dan sehari sebelum pencurian itu terjadi anaknya yang berusia 6 tahun ingin merasakan nikmatnya Mc.D atau KFC tapi si ayah tidak punya uang hingga akhirnya mencuri ayam dan membuat ayam Mc.d/KFC home made. Masyarakat menganggap dirinya beradab ketika mereka membakar maling. Ketotolan yang bermuara pada akal yang tak pernah digunakan.

Untuk membuat kue tart atau brownies, kita tidak perlu menggunakan akal, cukup saja membaca daftar resep dan kemudian menyatukan bahan yang ada. Justru yang memakai akalnya adalah yang pertama kali menciptakan resep itu.

Seperti pelajaran yang kita ambil, mungkin, dari berbagai literature, doktrin hingga ideology yang rumit dan yang hanya bisa memecah belah saja kerjanya. Kita ini plagiat, percaya atau tidak terserah pada kalian. Maka coba gunakan akal!! Persatuan tidak berakar dari keberagaman.

Puas rasanya menertawai diri sendiri. Maaf bila diantara kalian ada yang tersinggung, itu mungkin karena kalian tidak dapat menerima kebinatangan dalam diri kalian sendiri.

Saya sempat tersentil dengan saudara Moko pada notesnya. Ya karena saya tersentil, berarti saya sulit menerima realita yang ada. Kita memang hidup saling tergantung satu sama lainnya. Ya kalau dalam pelajaran sosiologi atau antropologi juga kita telah diajarkan kalau manusia adalah makhluk social. Bersimbiosa, beradaptasi dan kadang juga saling meniru, imitasi. Tidak ada lagi yang asli. Untuk apa berjuang menjadi sesuatu yang asli dan baru jika disekitar kita telah penuh dengan imitasi? Kepuasan jiwa jawabnya? Absurd sekali yang kalian katakan kawan!! Sedangkan kita sering mengidolakan seseorang bahkan tuhan sekalipun. Tak perlu lagi malu menjadi imitasi, toh itu hanya kegiatan meniru, Bukan sesuatu yang palsu. Justru kepalsuan itu jika saya, kalian dan juga mereka merasa sebagai orang yang paling suci di dunia.

Tapi percaya atau tidak, tulisan saya ini asli saya yang membuat. Tapi isinya? Tak perlu dipertanyakan lagi, sebut saja ini hasil saduran atau resensi dari seluruh pengaruh teks yang pernah saya baca seumur hidup saya.

Fase norak sering juga saya alami. Ajaibnya sampai saat ini saya masih norak.

Senang saat mendapat wacana baru, padalah saya masih kurang mengerti apa yang dibicarakan dalam wacana itu. Otak ini hanya berisi sampah masa lalu yang terbawa melalui teks yang sialnya isi, makna dalam teks-teks dari beberapa pengarang “si biang sial” itu masih sangat relevan untuk menjadi perdebatan.

Manusia itu bunglon, kadang menjadi buaya.

Nikmatnya meracau dimalam hari ini.

Tapi bukankah hal-hal yang saya tuliskan bisa kalian dapatkan dalam diri kalian sendiri?

Haha… Silahkan saja jika kalian ingin membalas dan menghantam kebinatangan, kebiadaban, kebangsatan, kedunguan, ketidakberadaban, serta ketiadaan moral dalam diri saya ini. Toh, kita semua memilikinya jauh didalam diri yang muncul dipermukaan social. Bangga juga menjadi seorang skizoprenia. Narcissus mati ditangan orang-orang seperti saya. Mencoba bersahabat dengan Caligula sang maniak. Tapi saya lebih suka menemani Sisifus ke puncak bukit sebelum kemudian ajal menjemput. Mampus saja!!!

Masih berharap menjadi seorang arsonist. Mulai mengumpulkan mesiu, sumbu dan wadah hingga saya rangkai dalam kalimat yang berubah menjadi ranjau.

Sebuah karya meracau yang menakjubkan Bukan? Semoga saja.

Silahkan bantah!!!

0 komentar: