Demi Proudhon. Ini penghujung tahun yang indah!!!

|

Minggu 27 Desember 2009. (19.41 – 23.38)

“Kerena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya. Karena setiap aksara membuka jendela dunia”. (Efek Rumah Kaca – Jangan Bakar Buku.mp3)

Hmm… saya tidak punya cukup kata untuk menjadi kalimat pembuka. Tahun ini memang sangat luar biasa. Banyak berita-berita dan informasi-informasi yang masuk kedalam otak saya dan juga mungkin teman-teman di sisi computer sebelah sana.
Karena rasanya alienasi ini sangatlah menyenangkan sekaligus menyebalkan. Saya hanya jadi penonton dalam realita maupun dunia virtual. Shit! Ya. Saya pasrah saja. Karena diri ini sudah terbuang jauh dari kenyataan, entah kenyataan yang mana?

Negara memang menyebalkan. Saya dan kalian tidak punya pilihan selain menjadi warga Negara. Saat terlahir kita masih polos dan lugu. Kita lahir telanjang. Kemudian orang tua kita memberikan atribut di tubuh untuk kita kenakan. Disitu mulai dibedakan kamu pria atau wanita. Agama? Pasrah saja. Kita mau tidak mau harus mengikuti kepercayaan orang tua kita. Di kota apa kita tinggal? Ras apa diri kita ini? Suku apa diri kita ini? Warga Negara mana kita ini?

Kita lahir telanjang. Ya, kemudian dunia menyambut dengan segala kemewahan dan kemegahan di iringi aroma kamboja di atas nisan bernama kewarasan. Haha. Negara itu menyebalkan. Untuk menjadi warga negaranya saja banyak aturan. Kita (mungkin kamu tidak merasa) bahkan baru diakui menjadi warga Negara bila genap berusia 17 tahun. Kamu akan dapat KTP dan hak kamu sebagai warga Negara akan diakui. Okelah kalau begitu.

Tapi manusia tidak bodoh, pikiran selalu berkembang. Resapi ideology yang kamu yakini, hingga akhirnya kamu temukan dan yakini apa yang busuk dalam dunia ini!

Salah satu hak yang dimiliki warga Negara sesuai pasal 28 UUD 45 tentang Hak Asasi manusia terutama pada pasal 28F adalah Pasal 28F, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **) (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/UUD_45)
Sebenarnya bisa saja saya bersikap masa bodoh. Tadi masa saya cukup bodoh untuk diam saja, setidaknya saya merasa tulisan ini ada gunanya. (MUNGKIN).

Coba lihat kasus Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional yang sangat kontroversial akibat email yang dituding mencemarkan nama baik RS tersebut dan Luna Maya yang baru saja terjerat kasus dengan wartawan akibat kata-katanya yang menyindir wartawan di akun twitternya. Semua terjerat UU ITE. Bertabrakan dengan dualism hukum yang belum saya pahami betul sampai saat ini.

Yang luar biasa saat ini adalah fenomena Koin Cinta Untuk Prita. Sebuah aksi solidaritas yang sangat luar biasa menurut saya selain Pemilu presiden. Bedanya Prita hanya Warga Negara biasa. Sedangkan aksi memilih presiden di mobilisasi oleh partai dan lain-lain.

Solidaritas melalui Koin Cinta Untuk Prita menurut saya merupakan sebuah gerakan untuk mendobrak hegemoni hukum yang luar biasa carut marut di negeri ini. Saya tidak membicarakan keadilan, karena bagi sebagian orang keadilan adalah wacana urakan era pithecanthropus erectus.

Penggalangan dana itu muncul akibat adanya tuntutan perdata lebih dari 200 juta rupiah. Kemudian masyarakat dari berbagai penjuru negeri ini merespon dengan ramai-ramai mengumpulkan koin. Yang kalau di timbang seberat 6 ton. Luar biasa bukan.

Menurut seorang sosiolog yang saya lupa namanya (ubanan gitu, siapa yah?? Anjis poho pisan euy hampura!!) koin merupakan symbol dengan dua sisi yang berlawanan. Yang satu menunjukan nominal sedangkan yang satu menggambarkan ideology bangsa yang sampai saat ini belum tercapai.

Saya tertarik dengan fenomena Koin ini. Apakah termasuk Aksi Massa Atau Anti Massa? Sebenarnya saya ragu apakah ini berkaitan dengan konteks aksi massa dan juga pampflet anti massa. Tapi sudah kepalang haha.

Tan Malaka dalam buku Aksi Massa menyebutkan, “Aksi-massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.” Ini merupakan aksi yang terjadi abibat dari tumbulnya pertentangan kelas dalam factor: ekonomi, social, politik dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan dilain pihak.

Jika dikaitkan, mungkin penggalangan koin itu merupakan bentuk perlawanan rakyat yang frustrasi melihat carut-marutnya hukum di Indonesia dan juga akibat adanya rasa simpati yang begitu besar pada Prita Mulyasari. Semakin seseorang berkuasa, semakin dekat dengan tiran. Mungkin.

Sedangkan dalam pengantar Pamflet Anti-Massa oleh penerbit Katharsis, “…, maka metode Anti-Massa ini lahir dari kesadaran politis yang mengutamakan efektivitas kerja daripada menggelembungkan jumlah massa.” Kesadaran politis tanpa hirarki, tapi saya ragu kalau semua penyumbang memiliki kesadaran politis.

Terlepas dari itu, saya melihat besarnya respon masyarakat terhadap kasus ini. Berarti ada sesuatu yang harus di waspadai pemerintah selain bahaya laten PKI, yaitu aksi massa yang lebih besar jika permasalahan yang seperti bola salju semakin besar dan membesar tanpa terselesaikan.


Soekanto mengatakan, “Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia.” Tetapi baik dan buruknya harus dilihat dari seberapa jauh kekuasaan berdampak dalam suatu kehidupan dalam masyarakat. Masih ada diantara kita yang menganut Xenophobia, hingga tak jarang menjadi fasis dan fundamentalis.


Pertanyaannya. Apakah kekuasaan yang telah diberikan oleh para pemilih kepada pemimpin-pemimpin negeri ini dapat mewakili suara rakyat?


Jangan katakan suara tuhan, suara rakyat. Karena banyak rakyat yang masih bingung dengan tuhan bahkan meragukannya.

Yang sekarang menjadi hot news adalah buku yang dikeluarkan oleh George Junus Aditjondro berjudul Membongkar Gurita Cikeas. Belum-belum grand launching dilakukan , presiden kita langsung bereaksi, seperti yang saya baca dan dengar di media massa bahwa beliau prihatin dengan terbitnya buku tersebut. Terlepas dari isinya yang kalau dilihat akan banyak menyinggung dan menguak informasi tentang SBY, partai yang mendukungnya, dan simpatisan lainnya, (walaupun saya belum baca) buku ini merupakan usaha untuk membongkar skandal yang terkait pemerintah. Belum apa-apa telah diberitakan kalau buku ini harus di tarik dari pasaran, dan ada isu pembelian besar-besaran oleh oknum yang juga melakukan terror terhadap Aditjondro. Entahlah, bahkan media massa kadang sering membuat bingung.

Fakta adalah apa yang kita temukan. Bukan dari desas-desus, tapi karena memang kita hidup dalam bangsa penggosip jadi wajar saja kalau banyak hal yang belum terbukti kesahihannya menjadi sesuatu yang diyakini.


Atau mungkin kita semua harus belajar dari para nihilis. Kita tinggalkan semua atribut. Kita telanjangi diri-diri kita seperti saat kita baru terlahir. Kita buat sendiri kekuatan sesuai kemampuan kita tanpa harus terdaftar. Hingga kesetaraan menjadi wacana using. Hingga semua bisa tersenyum, berdansa dan saling mengecup mesra. AMOR FATI.

Kita lihat saja perkembangannya. Walaupun sebenarnya saya tidak terlalu peduli.

Semoga tulisan saya ini tidak berdampak apapun dan tidak terjerat hukum apapun.

Cuplikan terjemahan jawaban dalam wawancara Albert Camus “The Wager of Our Generation”, atau “Taruhan Generasi Kita”.


--Ya, ada matahari dan kemiskinan di dunia saya. Dan olah raga yang darinya saya belajar segalanya tentang etika. Kemudian perang dan perjuangan. Dan akibatnya, godaan untuk bersikap membenci. Menyaksikan teman dan kenalan terbunuh bukanlah pelajaran untuk mencintai orang lain. Godaan untuk membenci harus diatasi. Dan saya berhasil. Ini pengalaman yang harus diperhitungkan.---


Referensi:
1. Anti-Massa
2. Aksi Massa (Tan Malaka)
3. La Politica (Aristoteles)
4. Krisis Kebebasan (Albert Camus)
5. (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/UUD_45)
6. Sosiologi (Soerjono Soekanto).

0 komentar: